Sebagaimana pernah aku cerita disini, clubhouse sudah tidak seramai awalnya. Meskipun belum bisa dikatakan ditinggalkan oleh penggunanya dan akhirnya ‘dibunuh’ oleh pendirinya seperti path dahulu. Mungkin memang ternyata dalam perjalanannya tidak terlalu menarik, atau efek angka korban pandemi mulai berkurang. Orang-orang sudah mulai bebas keluar rumah. Menemukan hiburan sebenarnya lain yang lebih menarik.
Beruntung aku sempat bertemu room Mandok Hata. Club berisikan anak muda yang punya kerinduan untuk mengenal adat dan budaya Batak. Bersama beberapa club lain yang berhubungan dengan Batak memang langsung aku ikuti. Namun club ini berbeda karena (Sepertinya) mereka lebih teratur. Dalam arti mereka secara rutin membuka ruangan untuk berdiskusi setiap Selasa dan Jumat malam.
Aku ingat, awal join (aktif sebagai pembicara) saat ada diskusi soal pesta adat Batak. Karena merasa ada yang perlu diluruskan, aku angkat tangan agar diberi kesempatan berbicara. Karena sedikit banyak aku paham prosesi yang sedang didiskusikan. Sejak saat itu, aku aktif ikut dalam ruang diskusi yang ada. Sampai akhirnya diberi kepercayaan untuk ikut mengurus. Lucu Menarik, karena meskipun berawal dari media sosial, yang mungkin bersifat lebih cair dan orang keluar masuk sesukanya, club diurus dengan serius. Demikian seterusnya hingga sekarang, Mandok Hata sudah semakin besar dilihat dari jumlah pengikut (follower) yang sudah mencapai 1,1K. Seribu seratus user! Sebuah angka yang tidak kecil untuk komunitas dunia maya. Apalagi topik-topik yang dibahas tidaklah umum untuk ukuran dunia maya yang lintas benua.
Pelan-pelan Mandok Hata mulai menemukan bentuknya. Bersama teman-teman lain yang bergabung belakangan sebagai pengurus, bahu-membahu membentuk Mandok Hata. Perlahan kami mencoba melebarkan sayap. Membuat akun instagram hingga membuat satu website untuk menampung resume singkat atas diskusi yang terjadi. Untuk resume singkat ini, sebenarnya berawal dari kisenganku untuk menuliskan apa yang menjadi pendapat dari peserta diskusi. Tanpa mencoba menggurui.
Walaupun aku menyadari budaya baca pada bangsa kita (terutama generasi muda mungkin) masih rendah, harapannya resume menjadi semacam bentuk dokumentasi atas apa yang pernah menjadi bahan diskusi. Tanpa ada niat untuk menyaingi buku atau literasi mengenai Batak dan budaya Batak yang sudah terlebih dahulu ada. Dengan dituliskan, semakin banyak lagi anak muda Batak (dan bukan Batak mungkin) yang bisa belajar dan mengetahui jawaban atas keresahannya selama ini mengenal budaya kami. Menulis resume, buatku juga sebagai sarana untuk tetap mempunyai alasan untuk tetap melatih keterampilan tangan dalam menulis, untuk merangkai kata dan kemudian mengikat makna.
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah – Pramoedya Ananta Toer