Orang Batak dikenal dengan ragam prosesi adatnya. Sejak lahir hingga meninggal dunia, orang Batak punya adat sendiri. Bahkan setelah meninggal dunia, orang Batak punya prosesi kepada mereka yang telah meninggal dunia. Prosesi atau adat itu disebut dengan mangongkal holi. Yang biasanya dilakukan oleh keturunan mendiang yang sudah meninggal.
Mangongkal holi bisa dilakukan satu keluarga, atau bersama-sama dengan kerabat yang lain dalam satu garis keturunan. Bisa juga dilakukan oleh beberapa keluarga dalam garis keturunan berjenjang. Selama keluarga tersebut masih ada atau keturunannya masih ada. Namun tentu saja hal ini akan memengaruhi besarnya ‘pesta’ yang akan dilakukan.
Mangongkal holi adalah proses menggali kuburan keluarga yang meninggal, untuk diambil tulang beluangnya. Kemudian tulang-belulang ini akan dipindahkan ke pemakaman yang baru. Biasanya kuburan baru ini berada di kampung halaman, berdekatan dengan kampung halaman atau bona pasogit, keluarga yang mangongkal holi. Biasanya juga dalam kuburan baru ini (sering juga disebut dengan tambak na pir atau kuburan yang keras), tidak hanya berisi satu kerangka saja. Bisa terdiri dari beberapa dalam satu garis generasi, atau beberapa generasi ke atas.
Setelah kuburan dibongkar dan tulang-belulang ditemukan, akan dikumpulkan dalam satu wadah (disebut ampang). Dalam proses ini, peran hula-hula besar, karena merekalah yang akan menerima pertama sekali kerangka atau tulang-belulang tersebut sebelum disatukan dan dibersihkan. Biasanya setelah itu akan dibalur dengan air perasan unte (jeruk purut). Setelah semuanya terkumpul, barulah diletakkan dalam peti yang lebih kecil dari peti mati pada umumnya. Setelah itu baru dibawa ke tambak (tugu) yang telah disiapkan.
Acara adat tersebutlah yang melatarbelakangi film Tulang Belulang Tulang, karya sutradara Sammaria Sari Simanjuntak, yang akan tayang sejak 26 September 2024. Dikisahkan keluarga Laterina (Atiqah Hasiholan) berniat membawa tulang belulang sang Tulang Tua (kakek buyut) menggunakan koper melalui jalur penerbangan dari Bandung menuju kampung halaman (Toba). Ternyata di tengah perjalanan, koper berisi tulang belulang itu tertukar, sementara di kampung, keluarga besar sudah mempersiapkan pesta untuk menyambutnya.
Perjalanan sejak membongkar kuburan hingga menguburkannya kembali sepenuhnya mengisi film yang diceritakan hanya berlangsung dalam dua hari saja. Namun dalam dua hari tersebut, keluarga Laterina sudah mengalami banyak hal. Mulai dari bertemu caleg, bertemu satu keluarga di tengah hutan, bertemu begal, bertemu polisi, hingga bertemu dengan anggota keluarga yang terpisah.
Secara ide film, sebenarnya film ini memiliki pesan kuat yang ingin disampaikan. Tentang bagaimana mendidik anak (laki-laki atau perempuan). Bagaimana sang anak menerima didikan orang tua, dan bagaimana hubungan kakek dengan cucunya. Konon keluarga dalam keluarga Batak disebut kalau ompung (kakek) lebih sayang kepada cucu daripada kepada anaknya sendiri.
Namun pesan tersebut seperti tidak tersampaikan dengan baik, akibat kekurangan dalam penulisan skenario. Beberapa pesan dalam hubungan orang tua dan anak, seperti nyelonong begitu saja tanpa ada sebab. Atau tanpa premis yang cukup sebelumnya. Misalnya soal hobby Hasian yang menari, Alon (anak lelaki) yang lebih diperhatikan dari anak perempuan (Hasian). Atau tentang keluarga Tulang Ucok yang kalau kata orang Batak S3 (sirang so sirang, pisah gak pisah).
Sepertinya pula, ada keinginan sang sutradara untuk memberi nuansa komedi dalam film ini. Namun ternyata tidak cukup kuat dampaknya. Mungkin itu yang membuat akhirnya beberapa scene komedi diberi latar belakang musik yang terus terang mengganggu. Alih-alih menikmati komedi, malah menonton terganggu dengan suara musik yang bukan menjadi latar malah menjadi seirama dengan adegan. Atau mungkin lebih keras dari adegannya?
Selain itu ada beberapa hal yang mengganggu terutama pada akhir film. Mengapa acara mangongkal holi tidak dipimpin oleh pria? Budaya Batak yang patrilinial masih mengedepankan peran pria dalam prosesi adat. Hal tersebut tidak sedikitpun terlihat dalam film ini. Ompung Tiolon (Lina ‘Mak Gondut’ Marpaung) mendominasi peran tersebut. Apakah karena dia yang membiayai? Kalaupun iya, secara adat Batak sebenarnya hal tersebut tidak diperkenankan. Harusnya dia ditemani oleh dongan tubu suaminya dalam memimpin atau menjalankan acara.
Selain itu juga, terlihat Laterina membawa peti berisi kerangka. Sesuatu yang menjadi pertanyaan. Bagaimana mungkin boru mengambil peran tersebut? Kemana paniaran atau menantu Ompung Pak? Apakah karena Tulang Ucok sudah S3 dengan istrinya sehingga dia kehilangan kesempatan itu? Selain itu juga, kenapa kerangka yang telah diongkal malah dikembalikan ke tanah, bukan masuk ke tambak na pir? Toh sudah ada contoh tambak na pir yang dimasuki oleh Laterina dan Hasian ketika sembunyi di rumah sakit. Dan satu lagi yang aneh, kenapa penggali kuburan tetap menutupi liang dengan tanah ketika keluarga Laterina berlomba-lomba dengan adegan yang terlalu dipaksakan (mungkin mau membangun komedi lagi) masuk ke liang. Seberkuasa itukah Ompung Tiolina? Hmmmm..
Secara keseluruhan, film yang dibintangi juga oleh Tanta Ginting (Tulang Ucok) –maih Karo Bukan Batak silih?-, Tasha Siahaan (Hasian), David Saragih (Papi Mondo), Cornel Nadeak (Alon), (Opung Tiolin), dan Landung Simatupang (Tulang Tua), memberi hiburan pada mata akan keindahan Danau Toba. Plus mengenalkan sedikit tentang adat mangongkal holi. Meski ada beberapa catatan yang mungkin akan mendapat komentar dari warga Dalihan Na Tolu sebagai pangsa pasar film ini.
Akhirnya, ucapan selamat dan terima kasih harus disampaikan kepada sang sutradara, Sammaria Sari Simanjuntak yang telah dengan berani membawa budaya Batak ke dalam film. Semoga makin banyak lagi pekerja seni (film khususnya) yang mengikutinya.
Oh iya. Itu sekelas Jajang C Noer gak sayang cuma jadi tempelan belaka yang gak begitu jelas perannya?