Ada momen haru ketika usai memberi selamat kepada Jenderal Maruli Panjaitan yang baru dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) memberi hormat kepada Presiden Joko Widodo. Betapa tidak, LBP memberi hormat sambil terlihat menitikkan air mata. Beliau menghormat Presiden demikian lama, sehingga Presiden merasa perlu menurunkan lengan sahabatnya itu untuk kemudian menyalaminya.
Yang baru dilantik kebetulan merupakan menantu LBP. Jenderal Maruli menikah dengan putri sulung LBP. Keharuan mungkin karena LBP dalam tahap pemulihan. Sebelumnya beliau memang dikabarkan sakit dan cuti cukup lama dari pemerintahan. Selain itu, mungkin LBP terharu karena menantunya itu berhasil mencapai puncak karier seorang tentara Angkatan Darat yang secara otomatis menyandang bintang empat di pundaknya. Dua hal yang tidak berhasil dicapai oleh seorang LBP. Bintang empat memang diperoleh oleh LBP. Namun hal tersebut diperoleh setelah beliau pensiun dari militer. Pangkat terakhirnya ketika pensiun adalah Letnan Jenderal (bintang tiga). Karirnya seolah mandeg. Konon karena kedekatannya dengan Jenderal Leonardus Benny Murdani. Panglima ABRI yang sempat dianggap berseberangan dengan Soeharto. Presiden kedua Republik Indonesia. Jangankan KASAD, bahkan LBP tidak pernah menjadi Panglima.
Meski demikian, saat ini siapa orang Indonesia yang tidak kenal seorang LBP. Bahkan mendapat julukan RI satu setengah. Untuk menunjukkan posisinya yang di bawah Presiden namun di atas Wakil Presiden. Ada juga yang menyebut sebagai menteri segala urusan. Mengingat banyaknya jabatan atau penugasan yang dipegangnya. Ito Sumardi (Komisaris Jenderal Polisi, mantan Kabareskrim) berkisah bahwa berdasarkan kesaksian Sukardi Rinakit (orang dekat Presiden Joko Widodo). Konon ketika sedang rapat atau ada masalah, Presiden membutuhkan seserang yang bisa menyelesaikan, LBP akan mengajukan diri ketika yang lain diam dan tidak ada yang memberi jawaban. “Pak Presiden, serahkan kepada saya, saya bantu atasi” katanya.
Jabatan resminya di pemerintahan adalah Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Investasi. Sebelumnya menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Sebelumnya lagi sebagai Kepala Staf Kepresidenan, ketika periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pindahnya LBP dari Menko Polhukam menjadi Menko Marinvest sempat membuatnya galau. Sebagai seorang militer, beliau merasa lebih menguasai bidang itu. Selain karena gengsi ‘kekuasaan’ Menko Polhukam.
Beberapa hal di atas, dapat kita baca melalui buku “Luhut Binsar Pandjaitan, Menurut Kita-Kita” yang bercerita tentang seorang LBP, dari beragam sudut pandang. Mulai dari dari keluarga dekat (istri, anak, menantu, cucu), teman dari militer, teman pengusaha, teman politikus, teman kabinet, staf, hingga mereka yang sering dianggap berseberangan dengan LBP seperti Rocky Gerung atau (alm.) Rizal Ramli
Seorang LBP juga diceritakan punya banyak akal, hal tersebut dikisahkan Johny Lumintang, teman satu angkatannya di AKABRI. Konon dengan beberapa teman mereka hendak makan. Karena uang di saku pas-pasan, mereka masuk rumah makan. Sebelumnya LBP meminta yang lain untuk ikut cara yang dilakukannya. Mereka makan hanya berbekal nasi putih dan kuah lauk yang dihidangkan. Karena lauk saja yang dihitung. Sementara kuahnya tidak. Namun ketika keluar rumah makan, mereka menyelipkan tusuk gigi di mulut masing-masing, sekadar agar kelihatan selesai makan enak.
Ada 395 orang yang memaparkan pandangannya dalam buku ini. Ditambah Presden Joko Widodo yang memberi prolog, total 396 pandangan tentang seorang LBP yang bisa dibaca. Menariknya ternyata tidak berisi melulu tulisan masing-masing orang. Buku ini merupakan hasil wawancara Peter F Gontha (PFG) kepada para tokoh, yang dituliskan oleh Mahpudi menjadi tulisan yang enak dibaca, karena menggunakan metode bertutur.
Penyusunan tulisan dalam buku ini dilakukan secara acak. Tidak dikelompokkan berdasarkan latar belakang narasumber, atau topik tertentu. Namun disusun berdasarkan abjad sesuai nama narasumber. Dengan satu perbedaan atas satu nama Jonathan B.P. Sianipar, yang dikelompokkan sesuai nama kecil beliau yang Binsar. Sehingga dikelompokkan pada awal urutan. Tidak berdekatan dengan James Riyadi atau setelah Ito Sumardi.
Dari buku ini kita mengetahui bahwa ada sapaan khas yang disematkan oleh orang dekatnya. Karena bentuk tubuh yang tinggi dan besar LPB disapa gajah (Koq seperti Tulus ya). Atau disapa Tutut oleh Kartini Syahrir, adiknya yang menikah dengan (alm.) Dr. Syahrir yang pernah berseberangan dengan Soeharto. Yang otomatis berseberangan dengan LBP mengingat posisinya sebagai tentara yang pada masa pemerintahan Soeharto, menjadi semacam alat politik Presiden terlama Indonesia tersebut. Dari sana kita memahami bahwa seorang LBP merupakan orang yang tidak kaku sekaligus toleran. Karena Dr. Syahrir seorang muslim sementara keluarga LBP merupalan penganut Kristen yang taat. Sikap toleran itu juga kita ketahui dari cerita lain. Beliau memberangkatkan umroh staf rumah tangga. Pada kesempatan lain, tidak tanggung-tanggung, seorang LBP yang kristen taat, rela terbang 20 jam ke Amerika Serikat ketika PFG memintanya menjadi saksi pernikahan Dewi (putri Peter) dengan seorang muslim. Sesuatu yang membekas bagi seorang Dewi hingga kini.
Sebagai seorang yang berdarah Batak, wajar LBP memiliki sifat blak-blakan. Ngomong apa adanya. Hal itu misalnya diceritakan langsung oleh Uli, putri tertuanya. Konon ketika di rumah mereka sedang ada acara open house, ada tamu yang protes cara berpakaian sang putri yang dianggap terlalu seksi. Karena mengenakan kebaya berdada agak rendah. Ketika hendak mengganti pakaian, dan berpapasan dengan LBP, Uli malah didukung dan berujar, “Eh…itu susu, susu kamu. Rumah, rumah saya. Tak ada yang undang mereka, buat apa mereka komentar seperti itu. Buat apa ganti baju? Dukungan itu membesarkan hati Uli. Selain itu sebagaimana orang Batak pada umumnya, LBP juga menganut prinsip Anakhonki do Hamoraon dia Ahu (kekayaanku adalah anakku). Oleh sahabat yang berasal dari etnis yang sama, LBP juga dianggap sudah mencapai tiga cita-cita orang Batak. Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon (Kekayaan, Keturunan, dan Kehormatan).
Sifat blak-blakan LBP juga diceritakan oleh beberapa sahabat melalui pemilihan kata. Ketika kesal dan marah, LBP akan menggunakan kata “pant*t”. Sebaliknya ketika beliau merasa senang dan perlu memuji sesuatu, LBP memilih kata “paten”
Dari sekian banyak teman yang menulis, sebagian besar mengamini bahwa seorang LBP merupakan orang yang setia kawan. Dia peduli akan teman-tamannya. Diceritakan dia pernah membantu Prof. Mahfud M.D., dari sisi keuangan. Persahabatan mereka berdua bermula ketika sama-sama menjadi menteri pada masa pemerintahan Gus Dur. Ketika tidak lagi menjadi menteri dan Prof. Mahfud kembali ke kampus, LBP rutin membantu keuangannya. Ketika akhirnya menjadi anggota DPR dan Prof. Mahfud menginformasikan hal tersebut tidak diperbolehkan lagi, ada saja akal LBP untuk tetap membantu Prof. Mahfud.
Sifat setia kawan LBP salah satunya ditunjukkan dalam hubungannya dengan Gus Dur. Persahabatan LBP dan Gus Dur dimulai dengan cara yang unik. Konon LBP diberi tugas untuk menggagalkan terpilihnya Gus Dur sebagai ketua umum Nahdlatul Ulama, lewat Operasi Naga Hijau. Operasinya memang gagal. Gus Dur tetap terpilih menjadi Ketua NU. Namun hubungan mereka tidak terganggu, bahkan semakin erat. Ada peran LB Murdani juga. Hubungan baik ini kelak membuat Gus Dur mempercayakan LBP menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan ketika Gus Dur menjadi Presiden. Ketika presiden ke-4 itu dilengserkan dari kursi kepresidenan, LBP setia bersama guru bangsa tersebut. Beliau menolak masuk kabinet Megawati (Wapres yang menggantikan Gus Dur sebagai presiden). Luhut kemudian memilih menjadi pengusaha. Jalan yang dipilihnya membawanya menjadi seperti sekarang. Karena bertemu dengan Joko Widodo, pengusaha mebel dari Solo yang kelak menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia.
Dari buku ini kita mengetahui beliau pernah punya keinginan menjadi Gubernur Sumatera Utara, bahkan Presiden Republik Indonesia. Beberapa teman menyebut beliau layak menjadi Wakil Presiden. Namun pilihannya sepertinya sudah bulat, setelah 2024, dalam beberapa kesempatan beliau menyampaikan akan pensiun. Bersama ibu Devi Simatupang (istri yang dikenalnya ketika menjadi pelajar di kota Bandung), LBP berencana memberi perhatian lebih pada ‘anak kelima’nya. Yayasan Perguruan DEL (nama yang selain berarti selangkah di depan, konon juga singkatan dari Devi dan Luhut) yang didirikannya di daerah kelahirannya, Toba. Mereka menetapkan Martuhan, Marroha, Marbisuk (Religius, Berpikir, Berakal) sebagai motto dan sifat yang ingin diajarkan kepada murid dan siswa lembaga pendidikan di bawah Yayasan Del.