Mungkin tidak ada korelasi langsung antara bulan Ramadan dengan kemacetan lalu lintas. Tidak serta merta jika bulan Ramadan tiba, lalu lintas akan sepi kemudian jalanan lengang. Toh bulan Ramadan tidak membuat semua aktivitas berhenti. Kantor atau sekolah mungkin libur sehari atau dua, namun tidak libur selama Ramadan. Ada juga beberapa kantor yang menetapkan jam kerja fleksibel selama Ramadan.
Namun dua minggu ini, masih saja ada yang berusaha menghubungkannya. Ketika dalam dua minggu kerja Ramadan tahun ini, lalu lintas menuju Semanggi macet pada pagi hari. Sebagian menghubungkannya dengan pekerja yang berlomba menggunakan kendaraan pribadi. Mungkin selama ini menggunakan kendaraan umum, akhirnya menggunakan kendaraan pribadi demi mengejar waktu shalat taraweh yang dilaksanakan setiap malam Ramadan. Atau ada yang menghubungkannya dengan jam keberangkatan yang beragam, sebagai akibat dari fleksibelnya waktu kerja.
Mungkin tidak berhubungan langsung dengan hal tersebut, terasa memang dua minggu ini lalu lintas pada pagi hari terasa lebih macet dari biasanya sebelum Ramadan. Entah jika dibandingkan dengan masa jauh sebelum Ramadan tahun ini. Aku tidak memiliki data pembanding lengkap. Untuk lalu lintas dari Cawang menuju Semanggi/Slipi [jalan tol khususnya], aku melihat penyebabnya adalah pintu keluar Tegal Parang yang terletak di depan Medistra/Universitas Paramadina. Karena setelah melintasinya [melewatinya] kendaraan bisa ngebut ke arah Semanggi/Slipi. Mencoba menginventarisir, sepertinya banyak penyebab.
Pertama, Pengendara yang Kurang Tertib
Kurang lebih sebulan terakhir, pintu keluar Pancoran yang terletak di depan kantor pusat Bukopin ditutup karena ada pekerjaan pembangunan flyover Pancoran yang dari arah Cawang. Bisa jadi mereka yang tadinya menggunakan pintu keluar tersebut beralih keluar di Tegal Parang. Ditambah mereka yang biasa keluar Tegal Parang, antrian panjang tidak terhindarkan. Selain itu, kebiasaan pengendara yang tidak tertib turut memperparah kemacetan. Bukan rahasia lagi jika banyak yang menggunakan bahu jalan. Sejak dari Cawang, mungkin hal tersebut sudah dilakukan. Pengguna bahu jalan ini yang akan kaget dengan antrian keluar Tegal Parang. Setelah itu mereka akan berusaha berpindah ke lajur paling kiri yang akan mengagetkan dan memperlambat mereka yang sebelumnya ada di lajur paling kiri. Begitu seterusnya berakibat pada jalur sebelahnya sampai lajur paling kanan.
Kedua, Alur Lalu Lintas yang Semrawut
Bicara mengenai pintu keluar Tegal Parang, sebenarnya ada masalah lagi. Sekitar pintu keluar tersebut merupakan pertemuan dari beberapa arus lalu lintas. Selain kendaraan yang keluar dari tol, jalur tersebut juga digunakan oleh kendaraan yang melintas arteri Gatot Subroto [menuju Kuningan/Semanggi] dan kendaraan yang keluar dari Tendean arah Bank Mega/Mampang. Ditambah lagi jalur busway [plus] yang bersinggungan dengan mereka yang akan menggunakan flyover untuk menuju Semanggi/Slipi. Terbayang betapa runyamnya lalu lintas daerah itu. Pertemuan beragam arus lalu lintas tersebut memperlambat kendaraan yang keluar tol di Tegal Parang. Kondisi ini harus ditambah dengan kondisi sebagaimana penyebab pertama. Runyam!
Ketiga, Pembangunan Jalan Tambal Sulam
Kita sudah mahfum bahwa penataan kota Jakarta terutama jalan raya agak semrawut. Seperti tidak dibangun berdasarkan rencana besar [master plan]. Jalan seolah tumpang tindih. Seperti tambal sulam. Karena ternyata macet, dibangunlah flyover Kuningan dan Pancoran [dari arah Semanggi]. Setelah itu dibangunlah flyover pada lokasi sama dari sisi sebaliknya. Saat ini bahkan ditambah dengan under pass dari Mampang menuju Kuningan. Khusus pembangunan flyover pada dua titik itu [dan beberapa titik lain], kebetulan bersinggungan dengan pintu masuk atau pintu keluar tol. Pintu masuk depan Wisma Dirgantara dan pintu keluar Tegal Parang jika dari Cawang. Sisi sebaliknya, pintu masuk Tebet jika dari arah Semanggi. Pertemuan dua jalur mengakibatkan adanya perlambatan kendaraan yang bertemu. Perlambatan kendaraan mengakibatkan kemacetan di belakangnya. Menurut aku solusi yang bisa dilakukan adalah memperanjang jalur naik atau turun. Agar tidak bertemu langsung dengan arus lalu lintas yang hendak masuk atau keluar tol. Namun solusi ini pasti akan mahal, karena otomatis menambah biaya pembangunan. Atau jika ingin biaya lebih murah, bisa dilakukan dengan memindahkan atau menutup pintu masuk atau keluar tol. Agar persinggungan diminimkan. Solusi murah yang entah kenapa tidak dilakukan.
Keempat, Kesigapan Petugas
Seperti selang yang dialiri air, jika ujung keluar lebih kecil dibandingkan dengan air yang akan melaluinya, bisa dipastikan selang akan melebar menampung pasokan air. Menggunakan analogi selang, yang bisa dilakukan adalah membuat [beberapa] lubang pada selang untuk membagi arus keluar. Kesigapan petugas untuk melihat ini dan membocorkan selang dibutuhkan. Atau jika tidak mau membocorkan selang, pasokan kendaraan dikecilkan, seperti yang biasa dilakukan oleh petugas di pintu tol Semanggi 1 ke arah Cawang. Yang kerap menutup pintu masuk tol dan mempersilahkan pengendara masuk pada pintu Semanggi 2.
Untuk kasus Semanggi, hal tersebut sebenarnya bagus dilakukan, namun menurutku masih kurang tepat sasaran. Karena terkadang dilakukan tanpa koordinasi. Pintu Semanggi 1 terletak di daerah pertemuan antara tiga arus lalu lintas. Mereka yang datang dari arah Slipi, mereka yang datang dari arah Blok M [setelah naik jembatan Semanggi] dan mereka yang datang dari arah jalan Thamrin. Seandainya saja sejak dari jauh pengendara yang berasal dari Slipi sudah mengetahui bahwa pintu Semanggi 1 ditutup, menurutku antrian panjang tidak akan ada. Namun karena seringkali pemberitahuan penutupan dilakukan dan diketahui setelah berada di dekat pintu tol Semanggi 1, Runyam! Mungkin jika sejak jauh pengendara yang berencana masuk di Semanggi 1 mengetahui mereka tidak diperbolehkan masuk, arus lalu lintas bisa lebih diurai. Kepadatan bisa dicairkan. Karena tahu sejak jauh, pengendara tidak bertumpuk di sisi kanan. Bagus lagi jika mengambil jalur alternatif dan menghindarinya.
Masih di seputar Semanggi, dari arah Cawang terdapat pintu keluar yang difungsikan entah dengan pertimbangan apa. Dulu ketika awal berkantor di SCBD, pintu keluar itu selalu terbuka. Aku bahkan lupa sudah berapa lama pintu keluar itu ditutup [permanen] dan dibuka untuk beberapa waktu saja pada waktu tertentu. Padahal dengan memperbanyak pintu keluar bisa jadi solusi mengurai kemacetan dalam tol. Selain itu juga bisa mencegah kemacetan yang terjadi di depan Mapolda. Dengan ditutupnya pintu keluar depan Ditjen Pajak itu, bis yang berasal dari Cawang terpaksa keluar di depan Mapolda. Jarak antara pintu keluar Semanggi depan Mapolda dengan halte tempat menurunkan penumpang terlalu pendek. Akibatnya bis atau kendaraan yang keluar Semanggi seolah memotong lajur jika harus merapat ke halte Mapolda. Ini mengakibatkan kendaraan yang datang dari arah Cawang menuju Slipi akan tersendat. Dengan dibukanya pintu keluar Pajak itu, sebenarnya kendaraan yang hendak mengambil arah ke SCBD atau ke arah Blok M bisa masuk area SCBD. Hal tersebut mengurai sedikit penumpukan depan Mapolda. Entahlah kenapa hal tersebut tidak dilakukan. Mungkin petugas punya pertimbangan lain yang lebih jitu dibandingkan dengan analisa abal abal penumpang angkutan umum gelap [omprengan] seperti aku ini 😜