Sudah kurang lebih dua puluh bulan sejak pemerintah China mengumumkan kasus COVID-19 pertama kali terjadi pada 17 November 2019. Kurang dari setahun, penyakit yang diakibatkan oleh virus bernama resmi Sars-Cov-2 ini menyebar ke seluruh dunia. Penyebaran yang begitu cepat, dampak yang begitu luas membuat akhirnya ditetapkan sebagai pandemi (pandemi/pan·de·mi/ /pandémi/ n wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas). Hampir semua negara di dunia mengalami.
World Health Organization (WHO), badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang bertindak sebagai koordinator kesehatan umum internasional, memberi perhatian khusus. Perusahaan farmasi berlomba dalam menemukan penangkalnya (vaksin). Angka statistik mereka yang terpapar, mereka yang dirawat, mereka yang menjadi korban, mereka yang sembuh seolah menjadi akrab dengan kita. diumumkan setiap hari, dibicarakan berbagai kalangan dan usia.
Untuk Indonesia, tanggal 2 Maret 2020 dianggap sebagai tanggal masuknya virus tersebut ke Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan diumumkannya dua warga yang berdomisili di Depok diketahui positif mengidap virus SARS Cov-2. Ini merupakan kasus pertama yang ditemukan di Indonesia. Kedua pengidap Covid-19 itu memiliki riwayat berinteraksi dengan warga negara Jepang yang diketahui lebih dulu menderita penyakit tersebut. Namun demikian, banyak pejabat (pemerintah) yang mengeluarkan pernyataan yang seolah menafikan keberadaan dan dampak virus tersebut. Beberapa menyampaikan bahwa kondisi akan baik-baik saja. Bahkan ada yang membuatnya menjadi kelakar :-(. Dari satu sisi mungkin bisa dipahami. Tujuannya untuk encegah kepanikan. Bahwa kita harus jernih meilhat masalah sebelum mencari solusi penanggulangannya. Namun pada sisi lain (entah benar atau tidak), hal tersebut ternyata membuat kita abai.
Pada awal pandemi beberapa negara mengetatkan pergerakan warga negara mereka. Termasuk kunjungan ke negara kita. Hal tersebut sempat membuat daerah tujuan wisata kita sepi. Pemerintah bergerak cepat. Atas nama pertumbuhan ekonomi, insentif diberikan agar sektor pariwisata tidak berdampak. Para penggaung yang dianggap pro pemerintah bahkan melakukan langkah blunder. Menganggap mereka yang membiacarakan Coronavirus dan Covid sedang menyebar issue. Sangat disayangkan. Meski pada saat bersamaan pemerintah akhirnya menetapkan dampaknya sebagai Bencana Nasional Non Alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana diberi tugas untuk mengatasinya. Jenderal Doni Monardo menjadi panglima penanganan. Isitlah baru dikampanyekan. Tiga M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak). Bersama dengan praktik tiga T (tracing, testing, treatment).
Seiring berjalannya waktu, pemerintah tidak tinggal diam. Perangkat hukum disiapkan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 diresmikan DPR sebagai undang-undang (UU). Perppu tersebut berisi tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Covid-19. Pembatasan Pejabat negara setingkat menteri diberi tugas untuk berkeliling mencari vaksin. Sebuah upaya yang tidak mudah sebenarnya. Selain karena penyakitnya baru, dan vaksin masih dalam porses pembuatan, jumlah kebutuhan vaksin negara ini ternyata cukup besar mengingat jumlah penduduknya. Data menunjukkan kekebalan kelompok (herd immunity) akan tercapai ketika setidaknya 60-70 penduduk sudah mendapatkan vaksin. Bantuan sosial pun diberikan kepada mereka yang terdampak. Meskipun untuk ini ternyata masih ada pejabat yang tega berbuat curang dan mencari keuntungan :-(.
Beruntung kesigapan pemerintah membuahkan hasil. Mendahului banyak negara, secara bertahap vaksin pesanan kita berdatangan. Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang farmasi diberi mandat untuk memproduksi vaksin. Agar ketergantungan akan vaksin dari luar segera teratasi. Selain itu BUMN dan tentara juga ditugaskan untuk membangun fasilitas kesehatan tambahan. Karena untuk mengantisipasi menaiknya jumlah korban. Beberapa sarana milik pemerintah dialihfungsikan menjadi fasilitas kesehatan. Lahan kosong milik negara dibangun rumah sakit yang dikerjakan oleh BUMN karya.
Berbagai upaya tersebut membuahkan hasil. Angka statistik menunjukkan trend menurun. Seiring dengan hal tersebut, persiapan menghadapi kondisi baru mulai dilonggarkan. Demikian juga pelonggaran penerbangan keluar dan masuk negara ini. masyarakat dibiarkan menentukan kenormalan baru buat dirinya sendiri. Musim lebaran tiba. Silang pendapat permainan kata-kata mulai dipertontonkan. Mudik tidak dilarang, hanya diimbau untuk tidak dilakukan. Atau dengan bentuk setengah hati muncul istilah, mudik dilarang namun wisata diperbolehkan.
Lebaran tahun 2021 menjadi semacam tontonan pertarungan opini di masyarakat. Mereka yang pro kenormalan baru melenggang di jalanan, berkerumun di daerah wisata. Atas nama silaturahmi dan bosan di rumah saja menjadi pilihan. Toh sudah menerapkan protokol kesehatan (prokes), begitu mereka beralasan. Mereka yang masih berpikir bahwa kenormalan baru belum waktunya diterapkan, memaki mereka yang berkerumun. Banyak beredar foto kerumunan di berbagai tempat. Mereka yang berkerumun disebut covidiot.
Gabungan pelonggaran dan ketidakpedulian membuat negara ini harus mengalami gelombang kedua (second wave). Mirip dengan apa yang terjadi di negara India. Ditambah lagi adanya varian Delta yang konon berasal dari India dan memiliki daya tular tujuh kali lebih cepat dari varian awal. Bulan Juni dan Juli menjadi puncaknya. Angka statistik menunjukkan rekor tertingginya. Jumlah mereka yang terpapar semakin menggila. Termasuk tingkat kematian.
Keadaan menjadi lebih mencekam. Lelayu yang dahulu dibaca melalui media, sekarang semakin dekat. Terbaca melalui pesan whatsapp pertemanan dan keluarga. Instagram story yang dahulu berisi foto makanan atau perjalanan wisata, kini berisi permintaan tolong donor plasma konvalesen. Perburuan ruang rawat rumah sakit beredar pada berbagai kelompok percakapan whatsapp. Cerita kesulitan mencari obat menjadi berita biasa. Kelangkaan obat menjadi berita biasa. Ragam cara menanggulanginya beredar. Termasuk yang berakibat perburuan susu beruang. Bisa dipahami, di tengah kepanikan akan penyakit yang belum ada obatnya.
Akhirnya pemerintah menetapkan kebijakan baru. Disebut Pembatasan Kegiatan Masyarakat (disingkat dengan PPKM). Keadaan darurat diterapkan di pulau Jawa dan Bali. Dikomandani oleh Menko Luhut. Untuk daerah lain diterapkan PPKM (tanpa darurat) dan dikomandani oleh Menko Hartarto. Namun ternyata menimbulkan masalah baru. Penyekatan jalan dan pembatasan aktivitas mendapat respon yang mungkin sudah diduga sebelumnya. Belum lagi pada tingkat pelaksanaan masih ada perbedaan yang terjadi. Ada aparat yang menerapkan peraturan dengan cara simpatik dan mendapat pujuan. Namun tidak sedikit aparat yang tidak pandang bulu menegakkan peraturan. Gesekan terjadi.
Apa yang bisa dilakukan sekarang? Mungkin sudah saatnya kita bersama menyadari. Bahwa ini bukan soal urusan pemerintah atau rakyat semata. Sudah menjadi urusan bersama. Ini musuh bersama. Mungkin memang tidak kelihatan. Tapi bisa kita hadapi kalau bersama. Tetaplah kembali pada semangat gotong royong.
Pemerintah sudah menyiapkan jutaan dosis vaksin. Tahapan pelaksanaan sudah ditetapkan. Semakin kesini juga vaksinasi atau imunisasi sudah dibantu banyak pihak (swasta). Semakin banyak titik yang bisa dipilih. Pelebaran rentang penerima juga sudah dilakukan. Awalnya kepada usia di atas 60, sekarang penduduk di atas 12 tahun sudah bisa menerima vaksin. Meskipun banyak pilihan vaksin tersedia, bukan saatnya memilih dan membandingkan vaksin mana yang terbaik. Karena dalam kondisi pandemi seperti sekarang, vaksin terbaik adalah vaksin yang tersedia untuk disuntikkan.
Bersamaan dengan itu, penerapan prokes bukan lagi sekadar tiga M. Sekarang sudah menjadi lima M dengan tambahan menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Mengurangi mobilitas mungkin hal yang paling sulit dilakukan. Namun sesulit apapun harus dilakukan untuk melandaikan kurva. Mereka yang sehari-hari masih harus melakukan mobilitas untuk mencari makan mungkin bisa diberi kebebasan. Namun haruslah diingat tetap dengan prokes yang ketat. Terutama menghindari kontak dengan orang lain. Karena hal tersebut bisa meminimalkan perpindahan virus. Untuk mereka yang masih bisa di rumah saja, bisa membantu dengan menyebarkan berita baik atau bergandeng tangan (bukan dalam arti sebenarnya) untuk membantu korban atau mengingatkan lingkar sekitar. Atau melakukan aktivitas ekonomi seperti berbelanja atau menggunakan layanan pesan antar untuk membantu mereka yang terkena pembatasan mobilitas.
Dengan demikian, Indonesia akan bisa pulih lebih cepat.