Pagi ini, setelah menunaikan tugas pertama sesampainya di kantor [menekan empat digit PIN dan menempelkan sidik jari jempol kanan di mesin absen], aku terlibat dengan pembicaraan tak sengaja dengan dua orang teman.
Teman A : “Lihat nih bang, sampe gak bisa jalan dia”
Teman B : “Iya nih. Kata dokter ada asam urat” [katanya sambil menunjukkan klise hasil sinar rontgen]
Teman A : “Lho, trus kenapa kamu masuk kantor hari ini?”
Teman B : “Aku teringat kerjaan. Hari ini kan ada ai pi o [IPO = Initial Public Offering]
Aku yang belagak pinter sendiri : mana ada IPO hari ini?
Teman A dan teman B yang menjawab hampir bersamaan [mungkin kompak karena mereka berada di unit kerja yang sama] bilang, “ada dong Bang”
Aku [yang masih merasa pinter sendiri, dan tahu kalau hari ini adalah hari pencatatan perdana saham PT Bank Ekonomi Raharja Tbk. di Bursa Efek Indonesia], “NOPE! IPO sudah berlangsung di tanggal 2 sampai 4 kemarin. Hari ini adalah listing [pencatatan] nya di Bursa. Selesai berkata begitu, dan mungkin karena masih merasa paing pinter sendiri, aku menampar meja yang kebetulan ada di depanku sambil berkata setengah keras, “Orang BEI koq gak tau”
Entah apa yang dipikirkan kedua temanku itu, aku gak tau. Karena aku yang merasa pinter sendiri, langsung menuju ruangan. Sebagaimana juga mereka. Sesaat pada saat itu, aku merasa pantas dan sah-sah saja melakukannya. Karena menurutku, istilah yang digunakan oleh kedua temanku itu masihlah salah kaprah. Nah kalau mereka saja yang selama ini berada di unit yang bertugas mengkomunikasikan tempat kami bekerja, masih salah? Bagaimana dengan masyarakat awam?
Dan itulah yang aku temui malam harinya di rumah. Membaca Majalah Berita Tempo minggu ini, mengingatkan aku kembali akan kejadian tadi pagi. Dalam rubrik ekonomi bisnis, majalah itu yang mengulas tentang pergantian Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. menulis, “…dengan adanya rencana penjualan 15 persen saham lewat penawaran saham perdana kedua (secondary offering) dan 15 persen penjualan saham baru lewat penawaran terbatas (rights issue)…..” di halaman 108 dan ” dan “…tiga bulan sebelum dan sesudah penawaran saham perdana kedua….” di halaman 109.
Aku merasa si wartawan hingga redaktur majalah itu, sudah salah kaprah mengalihbahasakan Initial Public Offering dan Secondary Public Offering. Istilah pertama [dialihbahasakan menjadi Penawaran Umum Perdana] sudah biasa di pasar saham. Biasanya ditujukan kepada perusahaan yang menjual sebagian sahamnya kepada masyarakat. Disebut Initial, perdana, karena inilah untuk pertama kalinya saham yang tadinya hanya dimiliki oleh sekelompok pihak, entah itu pribadi, instiusi, maupun pemerintah [untuk Badan Usaha Milik Negara] ditawarkan kepada masyarakat [publik].
Sementara istilah kedua [menurutku bahasa Indonesianya adalah Penawaran Umum Kedua], populer ketika BNI pada Agustus 2007 melepas lagi [untuk kali kedua] sahamya kepada masyarakat. Itulah sebabnya disebut secondary, kedua. Dan terus terang, aku tidak memahami istilah penawaran saham perdana kedua yang digunakan oleh Tempo tersebut. Padahal setahuku, unit kerja dari kedua temanku di atas sudah seringkali mengadakan semacam pelatihan kepada wartawan-wartawan yang sehari-hari meliput di Bursa. Yang aku rasa pastilah diikuti pula oleh wartawan dan redaktur dari MBM Tempo.
Kedua istilah ini berbeda lagi dengan right issue sebagaimana ditulis dalam artikel yang sama. Istilah ini adalah sama-sama penawaran umum. Hanya berbeda dengan kedua istilah pertama, penawaran umum kali ini hanya kepada pemegang saham yang telah ada. Jadi, bukan kepada banyak pihak sebagaimana Initial dan Secondary Public Offering di atas.
p.s. kepada teman A, maafin aku ya kalau tadi sok pintar dan berlaku kurang ajar :-)