Dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional, bangsa Indonesia kembali kehilangan tiga orang putra terbaiknya. Dimulai dari Sophan Sophiaan, pada Sabtu 18 Mei 2008, kemudian kemarin pada hari yang bersamaan Bang Ali dan Ibu SK Trimurti, juga kembali kepada sang pencipta.
Aku mengenal ketiganya hanya melalui media. Tapi tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ibu SK Trimurti, aku merasa ada pesan dibalik perginya Bang Ali dan Bung Sophan Sophiaan. Mungkin benar, kalau ketiganya pergi karena sudah sampai ajalnya. Namun dari media aku mengetahui, Bang Ali dan Bung Sophan, memiliki sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh banyak orang di negara ini.
Bung Sophan [BS] awalnya dikenal sebagai aktor, konon Pengantin Remaja adalah film pertamanya yang sekaligus memperkenalkannya dengan Widyawati, yang kemudian menjadi pengantinnya. Selama puluhan tahun, pasangan ini relatif bersih dari berita miring layaknya artis lain. Ketika Ibu Megawati memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, BS bergagung untuk kemudian menjadi anggota DPR. Mungkin darah politik mengalir dari ayahnya Manaai Sophiaan yang merupakan tokoh Partai Nasional Indonsia seangkatan Bung Karno. Selama menjadi politikus di Dewan Perwakilan Rakyat, setahuku BS juga tidak menjadi politikus selebritis yang mondar-mandir nampang di layar kaca. Terakhir, sikapnya yang berseberangan dengan Ibu Mega, membuat dia dan beberapa rekannya dipecat dari partai itu. Kemudian, beliaupun harus keluar dari Senayan.
Sikap teguh pada pendirian inilah yang mempesona dari sosok Sophan Sophiaan. Sehingga ketika terdengar kabar bahwa beliau meninggal akibat kecelakaan motor, banyak yang terkejut. Liputan media terhadap berita meninggalnya juga lumayan besar. Terlepas dari beliau digolongkan sebagai selebriti yang menjadi politikus. Bahkan sampai ada media yang menulis bahwa setiap hari kebangkitan nasional, kelak bangsa ini akan mengenang beliau.
Senada dengan BS, Bang Ali juga merupakan tokoh yang teguh pada pendirian. Diangkat sebagai Gubernur Jakarta oleh Bung Karno, Bang Ali masih berusia 39 tahun. Gebrakan-gebrakan membangun Jakarta ala Bang Ali dikenang sebagai caranya untuk membangun Jakarta sebagai sebuah Metropolitan. Dalam situasi negara yang sedang kacau dalam perekonomian, beliau tidak kehilangan akal untuk mendapat dana guna membiayai pembangunan Jakarta Modern. Beliau berani menentang arus untuk melegalkan judi dan pelacuran [dengan lokalisasi di Kramat Tunggak, kawasan yang akhirnya melekat sebagai daerah wisata esek-esek Jakarta]. Dua dari aktivitas tertua kegemaran manusia di muka bumi ini. Terbukti cara tidak masuk akal yang ditempuh Bang Ali, mempu merobah Jakarta dari sebuah kampung besar menjadi Metropolitan.
Malam ini aku juga berpikir, jangan-jangan sapaan akrab warga Jakarta kepada Gubernurnya, Bang, dimulai dari era Bang Ali, Bang Nolo [Tjokropranolo], Bang Sur [Soerjadi Sudirja] sampai Bang Yos [Sutiyoso] dan Bang Foke.
Saat baru saja memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional, aku rasa Indonesia butuh banyak orang-orang seperti Bang Ali dan Bung Sophan. Pemimpin yang dengan teguh dan konsisten memikirkan rakyat bukan pribadi atau kelompoknya saja. Pemimpin yang bersedia dimaki orang demi sebuah keputusan yang terbukti mensejahterakan lebih banyak lagi orang [mungkin termasuk juga orang yang tadinya memaki].
Aku merasa, apabila dari 200 juga lebih penduduk Indonesia ada 100 orang saja seperti Bang Ali, tidak perlu Presiden mengingatkan kembali kalau bangsa Indonesia Bisa [sebagaimana disampaikan pada peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional]. Karena aku percaya, Sang Pencipta telah menyediakan semuanya untuk bisa dikelola oleh bangsa ini. Masalahnya sekarang bukan bisa atau tida, kita keluar dari keterpurukan yang sedang kita hadapi pelan-pelan. Tapi apakah kita sebagai bangsa berkehendak?
Jadi tanpa mengurangi rasa hormat kepada Panita Nasional 100 tahun Kebangkitan Nasional, mungkin selogan 100 tahun Kebangkitan Nasional perlu dikoreksi sedikit. Menjadi [Maukah] Indonesia Bisa ?
Selamat Hari Kebangkitan Nasional!