Oleh: M. Luqman Hakim MA, Jakarta Sufi Center
Kenapa bang Rhoma ini sewot baru sekarang? Apakah yang ditampilkan oleh group Soneta itu sudah Islami? Apa batasan Islami dan tidak? Kenapa Inul yang jujur dan polos dengan kata hatinya malah dihujat, sementara yang lain dibiarkan?
Apakah selama karir Bang Rhoma sebagai pendangdut bahkan sampai dijuluki si Raja Dangdut, pernah bisa membuat para pendangdutmania menjadi semakin religius, atau membuat orang non Islam masuk Islam? Toh, hingga kini, belum ada kabar secuil pun, ada orang masuk Islam atau ada orang taubat, karena menonton musik Rhoma Irama.
Mari kita buka matahati kita lebar-lebar dengan seluruh kejernihan qalbu kita. Jika Inul dipandang dari segi kulit luarnya, lalu seluruh aspek fisikal dan musikalnya terus disorot dengan dunia syariat, maka seluruh dunia dangdut dengan penyanyi para perempuan harus bubar. Bagaimana dengan penyanyi laki-laki, tetapi yang nonton perempuan, lalu para perempuan itu mengelu-elukan anda? Apakah itu tidak sama dengan mereka yang mengelu-elukan Inul Daratista?
Mari kita semua belajar dari Inul. Belajar pada kejujuran dan kepolosannya. Di tengah-tengah para pemimpin yang kehilangan kejujuran, ketulusan, dan di tengah para Ulama dan Kiai yang juga sudah tidak banyak dipercaya oleh publik, di tengah orang menggunakan jubah agama dan ayat-ayat, tetapi penuh dengan kemunafikan, tiba-tiba seluruh publik rakyat kita merasa kecewa dengan mereka. Tidak percaya dengan kebusukan dan omongkosong, tidak percaya pada Nama Tuhan yang dijual untuk politik dan materi. Maka, lahirlah Inul daratista, sebagai bagian dari ayat Tuhan yang menyindir manusia-manusia hipokrit itu.
Ketika Inul ditanya, untuk apa anda menyanyi dan bergoyang? “Untuk cari makan…!”. Sebuah jawaban yang mengharukan, tulus dan ikhlas. Tidak seperti para seniman dan pendangdut lainnya, ketika ditanya motivasi menyanyi, mereka ada yang menjawab, demi mengembangkan dunia seni, demi dakwah lewat seni, demi menciptakan seni yang estetik, demi-demi lainnya. Tetapi ujung-ujungnya ternyata sama dengan Inul: Mencari makan!.
Nah, publik dangdut dan rakyat ternyata lebih memihak pada Inul, daripada pendangdut lainnya, karena kejujuran dan ketulusannya yang mewakili kekecewaan publik atas kemunafikan para artis lainnya, para selibriti, politisi, aparat keamanan, aparat pemerintah, para tokoh, dan bahkan para Ulama dan ustadz.
Inul, bahkan menyindir kemunafikan para pemimpin dan manusia-manusia populer di Indonesia dengan pantatnya. Bisa jadi, disadari atau tidak oleh Inul, ia telah melakukan goyang kebudayaan secara kritis terhadap kehidupan kultur kita, dengan menggambarkan betapa kita semua telah menggunakan nurani kita dengan pantat kita, menggunakan akal pikir kita dengan seputar pantat itu, sehingga kita terjerumus pada kebodohan dan kemunafikan.
Inul mestinya kita jadikan refleksi dan renungan, sekaligus kita jadikan “guru” dari kedalaman batin kita. Justru mereka yang langsung menvonis Inul, menunjukkan betapa keleluasan jiwanya sangat dangkal. Ibarat danau yang dangkal, batu yang dilempar berbunyi keras. Tetapi lemparlah batu di lautan, niscaya hanya sunyi dalam sauh gelombang. Semoga jiwa dan hati Bang Rhoma bisa seluas lautan, agar Inul tidak mengganggu riak-riak danaunya. Lautan itu adalah muara segalanya, muara bangkai, muara air tawar sungai, muara minyak, muara sampah, tetapi, tak ada yang merubah rasa asinnnya.
Jika kita menghujat Inul, padahal kita tidak tahu apakah akhir hayat kita, husnul khotimah atau bukan, sementara — bagaimana jika — Inul justru lebih husnul khotimah dan kelak menjadi Kekasih Allah? Nah!