Asam di gunung garam di laut bertemu dalam belanga
Berapa banyak diantara kita yang tahu atau ingat akan peribahasa ini? Peribahasa yang konon menggambarkan, jodoh seseorang bisa saja berasal dari tempat yang jauh, tetapi bertemu juga pada akhirnya. Dari satu sisi menjadi penghibur bagi mereka yang belum bertemu pasangan (jodoh) dan tidak patah semangat.
Untuk mereka yang bersekolah dengan ‘cara lama, dimana anak PAUD atau Taman Kanak-Kanak tidak diharapkan untuk bisa membaca sebelum masuk Sekolah Dasar, mungkin peribahasa itu tidak asing lagi. Berbeda dengan mereka yang bersekolah dengan ‘cara baru’. Yang tidak lagi belajar Pendidikan Moral Pancasila. Mungkin banyak diantara mereka yang tidak kenal dengan peribahasa itu.
Penggalan peribahasa itu, mendadak terkenal lagi. Banyak yang akhirnya sadar ada peribahasa seperti itu. Adalah Tulus yang mengutipnya dalam lagu terbarunya yang bertajuk Hati-Hati Di Jalan dari album Manusia. “Kukira kita asam dan garam. Dan kita bertemu di belanga” lantunnya.
Bukan kali ini saja Tulus menulis lirik dengan cara tak biasa. Beberapa lirik lagunya yang menjadi hits menunjukkan kalau Tulus menulis lirik layaknya menulis puisi. Penuh makna. Perhatikan saja penggalan lirik ini “ Tubuh saling bersandar, ke arah mata angin berbeda”. Alih-alih menulis tidak searah, lirik lagu Pamit dari album Monokrom itu menulis dengan cara berbeda. Kalau sekarang (mungkin) dikenal dengan istilah anak senja. Yang menuliskan satu kata sore saja perlu dengan sebait kata. “Ketika mentari bergerak perlahan menuju peraduannya”. Perhatikan lagi lirik lanjutannya, “Kau menunggu datangnya malam. Saat ku menanti fajar”. Lewat sepenggal kalimat ini terbaca kalau sepasang kekasih dalam lagu itu ternyata berada di belahan dunia yang berbeda.
Atau pada lirik Sepatu, “Terasa sedih bila kita di rak berbeda, di dekatmu kotak bagai nirwana. Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya” yang sejak awal sudah memberi gambaran sepasang kekasih yang ada di jalan berbeda (?). “Selalu bersama tak bisa bersatu. Kekasih yang dikenalikan orang lain. Kekasih yang meski hanya berdasarkan kemauan orang lain tapi menikmati kotak yang mereka punyai sebagai nirwana.
Atau cerita lain. Soal keresahannya sewaktu kecil yang dipanggil gajah. Panggilan yang membuatnya tidak senang. Namun ketidaksenangan itu membuatnya akhirnya mencari tahu, bagaimana sebenarnya gajah itu. Yang tak bisa melompat tapi mahir berenang. Yang bahagia melihat kawanan betina. Yang berkumpul bersama sampai ajal, yang memiliki otak cerdas. Yang setidaknya berumur sampai tujuh puluh tahun.
Itulah Tulus. Gaya bernyanyi yang layaknya bertutur. Seolah suaranya dengan sukacita keluar dari kerongkongannya. Dan membuai pendengarnya. Yang beberapa kali menyelenggarakan konser bertajuk intim, tidak pernah dibiarkan penonton bernyanyi sendiri.
Kembali pada lagu terbarunya. Lagu Hati-hati Di Jalan, yang meski videonya di youtube belum ada gambar, dalam sebulan rilis sudah disaksikan 56 juta kali! Selain sadar akan adanya peribahasa tadi, pendengar mungkin menyadari kalau ternyata perpisahan tidak harus berakhir dengan ucapan “selamat tinggal”. Sepenggal kalimat, “hati-hati di jalan” cukup menggambarkan sedihnya perpisahan.
Kalau Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan salah satu pengertian tulus sebagai tidak serong, sepertinya Tulus agak berliku menceritakan kisahnya. Halah. Apapun itu, dia telah berhasil membuat pasar sendiri di musik Indonesia. Sila dinimkati saja karya-karyanya yang liriknya tidak ditulis sembarangan.
Kasih sayangmu membekas
Redam kini sudah pijar istimewa
Entah apa maksud dunia
Tentang ujung cerita, kita tak bersama