Akhirnya Yeremia bisa mengendarai sepeda roda dua. Sebagai seorang Bapak ada kegembiraan sendiri buatku. Aku lupa umur berapa aku dulu bisa mengendarai sepeda roda dua. Yang pasti, kelas tiga Sekolah Dasar, aku mendapat sepeda sebagai hadiah kenaikan kelas.
Tak ada niat untuk membandingkan kalau aku teringat akan diriku dulu. Hanya sempat ada kekhawatiran di dalam diri saat teman sebaya Yeremia sudah bisa mengendarai sepeda roda dua, manakala dia masih mengendarai sepeda dengan empat roda [dua roda tambahan sebgai penyeimbang]. Kekhawatiran itu muncul ketika melihatnya bermain dengan teman sebayanya yang kebetulan tetangga. Khawatir dia menjadi minder karena hanya dia yang belum mengendarai sepeda roda dua. Sementara teman yang lain sudah mengayuh sepeda roda duanya bahkan sudah ngebut.
Sebelum akhirnya Yeremia bisa mengendarai sepeda beroda dua, beberapa kali terlihat adanya ketakutan pada dirinya saat melatihnya mengendarai sepeda roda dua. Namun entah kenapa, sejak jumat kemarin Yeremia sudah minta agar roda tambahan di sepedanya dilepas. Alasannya kakinya sudah menapak tanah kalau naik sepedanya itu. Keinginan yang baru dapat kami realisasikan pada hari Minggu sore. Dengan riang dia menemaniku pergi ke bengkel dekat rumah untuk membuka roda tambahan itu. Bahkan segera setelah roda tambahan dibuka, dia sudah mengemukakan keinginannya untuk mengendarai sepeda itu ke rumah. Namun mengingat jalanan yang masih ramai dan sadar akan belum mampunya dia mengendarai sepeda roda dua.
Setibanya di rumah, latihan lagsung kami laksanakan. Disaksikan oleh mami dan adek Gabrielnya, beberapa kali Yeremia kelihatan masih takut meski papinya memegang di belakang. Namun perlahan kepercayaan dirinya muncul. Beberapa kali juga, pegangan dilepas sehingga dia bisa mengendarai sepeda itu sendiri. Saat sedang berlatih sepeda itu, muncul seorang teman yang mengajaknya bermain. Dengan alasan sudah capek berlatih, sepeda disimpan dulu dan dia bermain dengan temannya. Namun beberapa saat kemudian dia masuk ke rumah dan mengambil helm bersepeda milik tulangnya yang kebetulan ada di rumah. Katanya, akan bersepeda di lapangan bersama teman-temannya.
Agak sore sedikit, terdengar gerbang dibuka. Sepeda dimasukkan kembali. Sambil berteriak girang dia bilang kalau sekarang sudah bisa bersepeda. Katanya, dia sudah bisa beberapa kali berputar di lapangan tanpa bantuan siapapun. Senang sekali rasanya mendengar dia mengungkapkan rasa senangnya. Bahkan dia bilang, “Terima kasih,papi sudah mengajari Yeremia bersepeda!. Papi hebat, bisa ngajarin Yeremia naik sepeda”. Aku cuma bilang, “Yeremia yang hebat nak. Karena Yeremia berani mencoba. Yeremia tidak takut jatuh”.
Kegembiraan itu masih beberapa kali diungkapkan olehnya. Saat sedang duduk menonton televisi. Saat sedang menunggu martabak pesanannya matang. Sepertinya memang ada rasa bangga dalam dirinya. Kegembiraan yang sama tentunya kami rasakan sebagai orangtuanya. Manakala dia merasakan sebuah pencapaian yang menurutnya sebuah yang luar biasa.
Apa yang aku pelajari sebagai orangtua dalam kasus kemarin adalah, masing-masing anak pasti memiliki keistimewaan sendiri. Tidak semua anak meski berusia sebaya lantas memiliki kemampuan yang sama. Bukan hanya dalam hal bersepeda seperti Yeremia. Juga dalam kemampuan lain. Ah..sekarang aku membayangkan senyum bangga Yeremia, ketika dia berkata,”Yeremia senang naik sepeda roda dua,pi“