Akhir akhir ini aku senang membaca biografi beberapa tokoh. Yang teringat, mulai dari cerita Dahlan Iskan lewat Sepatu Dahlan, Chairul Tanjung, Kiki Syahnakri, hingga terakhir adalah kisah tentang perjalanan hidup J.B. Sumarlin sebagaimana posting sebelum ini. Terus terang tidak semua kisah enak dibaca.
Meskipun beberapa diantaranya ditulis oleh wartawan, mereka yang biasa menulis untuk media, tidak serta merta buku tersebut enak dibaca. Bahkan gaya bertutur seorang tentara berpangkat Jenderal (Kiki Syahnakri) menurutku lebih menarik daripada membaca kisah sang anak singkong (Chairul Tanjung). Kisah anak singkong pun tentu saja masih kalah jika dibandingkan dengan kisah Sumarlin yang ditulis oleh Bondan Winarno, yang sudah teruji puluhan tahun melalui penulisan novel, kolom dan beberapa buku.
Terakhir aku membeli buku Sutiyoso, The Field General, Totalitas Prajurit Para Komando. Terus terang ketertarikan dimulai setelah membaca kisah Jenderal Kiki yang menceritakan Untold Story dalam perjalanan karir militernya. Aku berharap mendapat kisah yang mirip. Apalagi dibandingkan Jenderal Kiki, Jenderal Sutiyoso lebih tenar, terutama karena pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta selama dua periode. Dibalut dengan sampul berwarna hijau tentara, dengan foto Sutiyoso di sampul depan mengenakan Pakaian Dinas Harian lengkap dengan baret merah kebanggaan prajurit Kopassus.
Namun, ternyata harapanku tidak terwujud. Memang bukunya berkisah sejak Sutiyoso masih kecil. Meskipun tidak mendapat porsi yang banyak. Diikuti dengan kisah bagaimana Sutiyoso sempat masuk perguruan tinggi, masuk Fakultas Teknik Universitas Tujuh Belas Agustus di Semarang. Bahkan sempat hendak pindah jurusan ke Fakultas Kedokteran. Sampai akhirnya Sutiyoso ‘terdampar’ di Akademi Militer. Kisah dilanjutkan dengan kisah penugasan militer yang dijalaninya. Penugasan di Kalimantan, Timor Timur, menghadapi Gerakan Ceh Merdeka.
Selain penugasan tempur, Sutiyoso juga diberi tugas dalam reorganisasi Kopassus dan Kostrad, menjadi Komandan Resort Militer di Bogor yang membuatnya bersentuhan dengan acara kenegaraan semacam KTT APEC maupun konflik Partai Demokrasi Indonesia yang diakhiri dengan peristiwa 27 Juli, hingga akhirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Penugasan terakhir, ternyata sempat mengecewakan seorang Sutiyoso. Prajurit Infanteri yang menghabiskan sebagian besar karir militernya di dunia keprajuritan. Hal tersebut merupakan satu kekecewaan yang diungkap dalam buku ini.
Membaca buku ini, menurutku tidak terlihat apakah buku ini berasal dari inisiatif seorang Sutiyoso ataukah inisiatif sang penulis. Hal tersebut misalnya terlihat dari tidak adanya kata pengantar dari sang tokoh yang kisahnya dijadikan buku. Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno didaulat untuk memberi kata pengantar. Penulis memilih gaya menulis sebagaimana layaknya menulis berita. Mungkin karen penulisnya merupakan mantan wartawan.
Satu hal yang menurutku menjadi kekurangan buku ini adalah editingnya. Pada beberapa bagian terdapat beberapa pengulangan yang tidak perlu. Yang kalau dirapikan, mungkin akan lebih menarik lagi. Penulis juga melengkapi tulisannya dengan beberapa catatan kaki. Entah itu sebagai daftar pustaka, maupun referensi yang menerangkan beberapa hal. Hal tersebut, misalnya digunakan untuk menerangkan beberapa istilah entah teknis ataupun istilah kemiliteran, atau menjelaskan bahwa beberapa bagian merupakan hasil wawancara tim penulis pada beberapa pihak yang disebut dalam bab tersebut. Catatan kaki juga digunakan untuk menjelaskan beberapa nama yang terkait dengan perjalanan karir Sutiyoso.
Namanya catatan kaki, pastilah diletakkan di bawah setiap bab yang memuat hal yang perlu diperjelas lewat catatan kaki tersebut. Namun entah kenapa, sang penulis merasa perlu mengumpulkan catatan catatan kaki tersebut dalam satu bagian sendiri di akhir buku ini. Sebuah pengulangan yang sia, sia menurutku. Satu hal yang kalau dihindari, pastilah bisa menghemat beberapa lembar kertas ;-)