Pemilu Presiden sudah setengah jalan. Belum selesai memang. Karena pemilihan sudah dilaksanakan, namun penghitungan suara belum usai. Dari hasil perhitungan cepat yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga, hasil akhir sudah terbayang. Seorang calon presiden telah memberi ucapan selamat kepada presiden terpilih versi hitung cepat. Sebelumnya sang calon wakil presiden, dalam tayangan televisi telah menyampaikan kurang lebih, bisa menerima hasil hitung cepat. Sekaligus mengakui bahwa upaya yang dilakukan sudah maksimal.
Sebagai orang awam yang melihat hanya melalui media, sedikit banyak aku bisa mengerti mengapa hasil pemilu seperti ini. Bangsa ini baru belajar berdemokrasi. Perilaku bangsa yang besar ini adalah apa yang tergambar sehari hari. Setiap hari melalui media televisi, bangsa ini menikmati puluhan tayangan sinetron berikut wajah para pesohor. Semakin sering sinetron ditayangkan, berarti semakin populer sinetron itu. Semakin dinanti oleh penontonnya. Atas nama rating.
Menurutku, sinetron yang berhasil dan bisa ‘dijual’ setidaknya mengandung dua unsur. Protagonis [tokoh baik] dan antagonis [tokoh jahat]. Bila perlu, ditambah bumbu pelengkap seperti peran banci atau peran ala Srimulat yang tugasnya hanya diledek atau digodain.
Semakin si protagonis menderita, semakin masyarakat suka. Demikian juga sebaliknya. Semakin si antagonis jahat dan menjahati si protagonis, cerita dan episode bisa diperpanjang semau produser dan televisi. Sesimpel itu sebenarnya. Meski banyak yang tidak suka, dengan alasan tidak mendidik, selama rating bagus, sinetron akan dilanjutkan. Kalau perlu, ditayangkan setiap hari. Direkam sepanjang minggu. Tidak peduli apakah cerita mulai membosankan atau semakin tidak masuk akal. Kata orang pintar ini gejala konsumerisme.
Inilah yang terjadi ketika bangsa ini menghadapi pemilu. Kegemaran terhadap sinetron ternyata dibawa kewilayah kehidupan berbangsa. Urusan negara beserta ratusan juta rakyat didalamnya, tidak ubahnya seperti hiburan saja. Pemilu berbiaya puluhan triliun belum menjanjikan banyak untuk perbaikan sebuah negara yang katanya sedang terpuruk.
Dalam pemilihan anggota legislatif, partai beramai ramai memajang para pesohor sebagai pilihan. Mengesampingkan kader yang berjuang dari awal atau memulai karir politiknya dari bawah. Bahkan mungkin mereka yang memiliki basis massa. Hanya demi mendulang suara yang akan menjadi bekal dalam pemilu presiden. Prosentase kemenangan di pilcaleg dibutuhkan dalam mencalonkan Presiden. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para legislator yang terpilih, aku pesimis terhadap anggota legislatif periode ini. Tentu saja tidak dapat digeneralisasikan untuk semua yang terpilih.
Kegemaran akan sinetron itu, semakin nyata tergambar dalam pemilihan presiden kemarin. Mau dibilang apa. Kampanye berbiaya ratusan miliar, debat yang diniatkan untuk menggali visi dan misi sang calon presiden tidak berarti apa apa. Ketiga calon [yang nota bene mengusung program sejenis, hanya berbeda kemasan], tidak serta merta dipilih karena bagusnya program untuk rakyat. Karena hasil akhirnya, kemungkinan rakyat hanya melihat antagonis melawan protagonis.
Meski demikian, aku pikir semangat demokrasinya haruslah dijunjung tinggi. Siapapun yang telah dipilih oleh sebagian besar rakyat, haruslah dihormati oleh semua pihak. Sambil mempersiapkan sejak sekarang program atau perilaku mana yang akan menarik ‘konsumen’ pada pemilu lima tahun mendatang. Sambil memberi pendidikan buat rakyat, bagaimana berdemokrasi yang baik, bukan bagaimana memperoleh kekuasaan.
Selamat bertugas Presiden !!!