terpikir sebuah tontonan bertajuk the raid 2 : berandal

20140329-183927.jpg

Berkat menang kuis di @iradiojakarata, berkesempatan menonton The Raid 2 : Berandal. Film yang oleh beberapa kritikus dipuji. Setidaknya kalau membaca ulasan di Tempo dan Rolling Stone Indonesia [RSI] Juga di situs IMDB mendapat nilai 8.8. Sebuah nilai yang cukup tinggi, mengingat pemborong Oscar 12 Years of Slave saja per 29 Maret hanya memeroleh angka 8.3. Sedemikian beguskah? Entahlah. Aku bukan kritikus film.

Cerita, sebagaimana biasa film laga, masih berkisar pada balas dendam. Antara tokoh protagonis dan antagonis. Sebagaimana ditulis oleh Leila S. Chudori, meski ini film Indonesia [dengan sutradara asing] mari menganggap adegan dan lokasi film ini terjadi di negeri antah berantah. Mungkin maksudnya, bukan di Indonesia apalagi di Jakarta. Tentang seorang polisi [Rama-Iko Uwais] yang konon, ingin membalas dendam atas kematian abangnya, kemudian dimanfaatkan oleh polisi lain [Bunawar-Cok Simbara] yang ingin membongkar kebusukan polisi lain lagi [Reza-Roy Marten].

Pemanfaatan dilakukan melalui ‘menanam’ Rama ke dalam geng [lokal?] Bangun yang sedang berbaik baik dengan geng Jepang. Dua geng penguasa kota. Eits. Katanya antah berantah, tapi Bangun menyebut Menteng dan Sabang sebagai wilayah yang bisa dibagi ke geng Jepang. Untuk penonton indonesia, kedua nama tempat itu sudah merujuk ke Jakarta. Baiklah. Mari menganggap di kota entah berantah pun ada dua kawasan itu.

Buatku, jualan film ini hanyalah cerita yang lumayan apik [dengan metode kilas balik di awal cerita] serta adegan laga yang rapi. Meski terkadang adegan laganya terlalu vulgar, kalau tidak mau dikatakan sadis. Kesadisannya meniru adegan laga di The Man With Iron Fists atau mungkin adegan beberapa film besutan Quentin Tarantino. Kesadisan yang tidak perlu dipertontonkan dengan darah memuncrat. Berdasarkan data yang dikutip majalah Rolling Stone Indonesia, sepanjang pembuatan film ada 800 liter ‘darah’ yang ‘tercecer’. Mungkin setara dengan hasil donor darah 2.000 an pendonor :-).

Beberapa adegan tergolong lebay. Menurutku tidak perlu. Ambil contoh ketika Rama sedang di toilet dan segera mendapat serangan dari puluhan napi. Adegan jatuhnya baut pintu kalau dihilangkan pun tidak menghilangkan esensi bahwa dia akan dikeroyok oleh puluhan napi lain. Namun sepertinya adegan slow motion menjadi andalan sutradara untuk lebih menonjolkan sisi dramatis. Sama seperti adegan slow motion beberapa orang yang akan mengerjai Rama di penjara saat hujan. Adegan laga di lumpur yang dipuji. Namun, meskipun menghajar puluhan orang [napi dan petugas penjara] bahkan sebagian mungkin terbunuh, dalam dua tahun Rama telah keluar dari penjara. Untuk soal ini, sepertinya penonton memang harus mengasumsikan bahwa penjaranya adalah di Indonesia. Salah satu penjara [peradilan] paling manusiawi di dunia :-D

Adegan lebay lain adalah ketika Rama menyelipkan alat penyadap ke dompet Ucok [Arifin Putra]. Dengan ukuran alat yang sebesar ujung jempol orang dewasa, Ucok baru menyadari ada alat itu di dompetnya setelah berapa lama. Yeah. Mungkin karena seorang kaya raya, Ucok tidak perlu sering mengeluarkan dompet. Sehingga dia sadarnya setelah beberapa hari saja.

Entah dengan tujuan apa, sutradara juga mengundang beberapa bintang veteran bermain di film ini. Mulai dari Cok Simbara, Roy Marten, Henky Solaiman, hingga Pong Hardjatmo. Nama terakhir, malah hanya muncul satu scene saja. Roy Martin lebih beruntung darinya. Satu hal terkait aktor gaek tersebut, koq rasanya janggal mendengar dialog yang diucapkan oleh Cok Simbara ber “loe” “gua”. Mungkin akan lebih terlihat tegas sebagai polisi, jika Cok Simbara dibiarkan menggunakan istilah “aku” atau “kau” untuk menggantikan “loe” dan “gua”.

Adegan yang aneh lagi adalah ketika Prakoso [Yayan Ruhian] dihabisi. Diawali oleh adegan ruang diskotik dengan musik menghentak, mendadak sepi karena ternyata ada serangan puluhan orang terhadapnya. Ah, mungkin maksudnya antara suasana berdentam dengan pengeroyokan itu, harusnya dipisahkan oleh jarak beberapa bulan/musim. Terbukti ketika perkelahian bergeser keluar ruang diskotik, di luar telah turun salju! Dan di sinilah Prakoso yang gagah perkasa itu [menghabisi puluhan orang sebelumnya] sadar bahwa jatah pemunculannya di film telah habis. Begitu menghabisi pengeroyok terakhir, dan melihat The Assassin [Cecep Arif Rahman] menunggu di seberang jalan, dia langsung mengambil foto putrinya untuk dilihat terakhir kali. Untuk kemudian menyerahkan diri kepada The Assassin. Dalam beberapa jurus, Prakoso telah bersimbah darah. Tanpa Perlawanan. Plis deh! Eits tunggu dulu, adegan darah mengalir di salju itu yang dishooting dari atas, tampak dramatis. Oalah! Itu toh tujuan saljunya. Bukan karena yang lain?. #AihMateeek

Eh, tunggu dulu. Mungkin memang si The Assassin ini sedemikian digdayanya. Terbukti ketika bertemu dengan Rama di kantor Bangun, hanya dengan beberapa jurus, si Rama jagoan kita rebah tak berdaya. Gak bisa bangun lagi bro! Akhirnya dia dibawa bermobil dengan dikawal empat orang. Eka [Oka Antara] ajudan Bangun yang disuruh menyelamatkan diri oleh Rama, datang membantu dengan mengebut! Padahal satu kakinya baru tertembak. Oh iya lupa. Mobilnya matic. Kalau dilihat dari lokasi kejar kejaran, sepertinya dimulai dari bypass Ahmad Yani, dilanjut ke kawasan SCBD, menuju Kemayoran, dan berakhir di SCBD. Sebuah kejar kejaran yang lumayan panjang rutenya. Ups. Kita sedang di negeri antah berantah.

Tapi rebah dan tak berdayanya Rama, menurutku memang disengaja [bagian dari skenario] agar terjadi adegan kejar kejaran dengan rute terpanjang tadi. Karena ternyata setelah itu, Rama mampu bertarung dengan durasi lumayan panjang melawan The Assassin. Dan tentu saja dimenangkan oleh Rama sang jagoan. Ketika berakhir, penonton bertepuk tangan. Ketika itu aku merasa sedang menonton misbar. Padahal nontonnya di Blitz Megaplex di Grand Indonesia. Kalau melihat staminanya, mungkin memang Rama pantas disejajarkan dengan John McClane di serial Die Hard. Mungkin karena itu disebut kualitas Hollywood. Kalau tidak melihat credit title, tadinya kupikir sutradaranya orang Indonesia.

Dipos di Tak Berkategori
2 Komentar Tambahkan milikmu
  1. It is also important to check any item you are buying
    to see if it is in good condition. Gift baskets are now
    being made for just about every occasion imaginable and for just about
    anyone. Pins come in a variety of styles and are considered a nice
    little corporate gift that can be easily customized according to
    a company’s logo, name or design style.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *