Berawal dari sebuah telepon di Jumat sore. Tentang apakah aku berencana akan menonton show Viky Sianipar. Kepada istri yang menelepon, aku bilang, coba aku periksa dulu. Karena terus terang aku tidak mengetahui jadwal pertunjukannya.
Lihat di facebook, tempat dimana biasanya Lae Viky mengumumkan kegiatannya, tidak ada (belakangan aku tahu,ternyata informasinya bukan diletakkan di personal akunnya yang bertajuk si Pikki.Namun di fan page). Akhirnya informasinya aku dapat di akun twitter. Setelah mendapat konfirmasi dari Viky, bahwa acaranya terbuka untuk umum, akupun segera berkemas. Maklum acaranya dimulai pukul 19.00. Sudah terbayang bagaimana perjuangan menuju ke lokasi di Manggarai, apalagi hari Jumat dan hujan membasahi Jakarta siang harinya.
Pukul tujuh malam lebih sedikit aku sudah berada di kompleks Viky Sianipar Music Center. Memasuki kompleks, terlihat lae Viky hendak menuju aula tempat dimana biasanya pertunjukan musiknya dilaksanakan. Aku pikir, pasti konfrensi pers yang mendahului acara peluncuran album itu baru selesai. Agak susah menyari parkir, akhirnya aku parkir di gerai seven eleven yang terletak dalam satu lokasi.
Langsung menuju tempat pertunjukan, terlihat sudah ramai tetamu. Sepertinya selain mengundang penggemar, Viky juga mengundang beberapa tokoh. Terlihat yang hadir Jajang C Noor, Rinto Harahap, Jack Marpaung, Cosmas Batubara, pengurus punguan Sianipar, dan banyak lagi. Memasuki teras tempat pertunjukan, tetamu sedang makan malam. Beruntung langsung ketemu, bersalaman dan ngobrol sejenak dengan Lae Viky dan Lae Charlie Sianipar. Yang terakhir adalah fotografer yang sedang disidang karena menjual IPad.
Layaknya sebuah peluncuran album baru, acara yang dipandu oleh Nico Siahaan, dibuka dengan seremonial sebentar. Sekadar menyampaikan latar belakang pengerjaan album yang konon merupakan album pertama berbahasa Batak yang diedarkan secara internasional. Sesuatu yang membuat rasa bangga menyeruak. Meskipun seingatku, serial TobaDream sudah lebih dahulu dipasarkan secara internasional dalam versi digital melalui internet.
Meski sempat melihat sekilas catatan di sampul album, bahwa hampir seluruh dari sembilan lagu di album #TOBATAK ini dilantunkan oleh Hermann Delago, harus aku akui aku terharu mendengar kenyataannya. Bagaimana seorang berkebangsaan Austria, seorang yang bukan pelafal bahasa Batak bisa membawakan lagu Batak.Mulai dari lagu ‘biasa’ semacam ‘Butet’ atau ‘Poda’. Juga lagu bernada riang namun berisi kesedihan semacam lagu ‘Boan Ma Salendang’. Tidak ketinggalan, Hermann melantunkan lagu bertempo (sedikit) cepat semacam Dos Nangkokna, Jala Dos Do Tuatna.
Untuk lagu terakhir, sedikit malu aku mendengarnya. Bagaimana tidak, lagu lama milik Iran Ambarita yang pernah dibawakan Trio Amsisi itu bertempo cepat di bait awalnya. Juga, liriknya menggunakan kosa kata yang tidak biasa. Sewaktu masih di Medan dulu, pernah latihan lagu itu di paduan suara gereja. Entah karena aransemennya yang kurang pas dibawakan oleh paduan suara, atau kami yang peserta paduan suara tidak terlatih membawakan lagu pop yang digubah ke versi paduan suara, lagu itu terhitung bukan lagu favorit kami. Sehingga jarang sekali dibawakan. Namun malam itu, Hermann yang bukan pelafal bahasa Batak itu, membawakannya dengan sukses.
Aku setuju dan pasti mengamini apa yang disampaikan oleh Nico Siahaan di awal acara. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh Viky, membuat banyak anak muda Batak yang dulu mungkin kurang tertarik dengan Batak dan segala ‘keribetannya’ berbalik menjadi suka. Lagu Batak yang seolah identik dengan andung (ratapan/tangisan) digubah agar dinyanyikan sebagaimana mestinya (setidaknya menurutku). Viky Sianipar juga berhasil menunjukkan kepada mereka yang awam musik, bahwa lagu Batak bukan semata andung atau ratapan.
Dulu tak terbayang bagaimana ngerocknya lagu Sinanggar Tulo setelah digubah olehnya. Bagaimana syahdunya lagu Mardalan Ahu atau lagu Poda yang dibawakan oleh Edo Kondologit yang juga bukan pelafal bahasa Batak. Bagaimana lagu Dengke Jahir berasa jazzy dan seterusnya. Sebagaimana yang disampaikan pada saat awal acara kemarin itu, aku merasa apa yang dilakukan oleh seorang Viky Sianipar tidaklah sia sia. Terlepas dari banyak ketidaksetujuan orang tua akan gubahan yang dilakukannya, aku merasa itu sah saja. Musik harusnya bersifat universal dan bisa diinterpretasikan dalam beragam cara.
Selain acara peluncuran album baru, ditenga acara, diselipkan kampanye yang selama ini digagas oleh komunitas TobaDrem. Yaitu Save the Music, Save the Culture and Save the Nature. Meski dapat dikatakan TobaDream berasal dari lingkungan keluarga ‘berpunya’, namun apa yang digagas justru tidak menunjukkan hal tersebut. Untuk urusan penyelamatan musik dan budaya, aku pikir sudah tak perlu diragukan lagi. Untuk penyelamatan alam, aku juga tau kalau komunitas ini telah menggalang gerakan penanaman pohon di sekitar danau Toba.