Pesta demokrasi itu datang lagi. Sejatinya bernama pemilihan umum. Disingkat pemilu. Konon istilah pesta demokrasi dipopulerkan untuk pertama kalinya pada pemilihan umum tahun 1982. “Kita harus menganggap pemilihan umum sebagai sebuah pesta besar demokrasiā, ucap Soeharto (Presiden ke-2 RI) kala itu. Pemilu memang merupakan pengejawantahan dari demokrasi, bentuk pemerintahan yang dipilih Indonesia. Sementara pesta sendiri (berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia) berarti perjamuan makan minum (bersuka ria dsb), perayaan.
Apakah benar kita sedang menyambut sebuah perayaan? Semua yang memiliki hak pilih bersiap bersuka ria? Atau hanya dirasakan oleh sebagian orang saja?
Dua pemilu terakhir (tahun 2014 dan 2019), serta satu pemilihan kepala daerah (2017) tidak menunjukkan hal tersebut. Alih-alih berpesta, yang ada malah saling hujat. Pertemanan berubah menjadi perseteruan. Hubungan antara keluarga retak. Bekasnya masih menyisa hingga sekarang. Tidak ada suka ria.
Yang terlihat berpesta hanya para calon. Mereka menghamburkan uang untuk kampanye. Membuat dan menyebarkan foto dan nama mereka lewat poster atau baliho di segala penjuru kota. Mungkin tukang soanduk, poster dan penyedia layanan iklan juga ikut berpesta. Yang belum terlihat ikut dalam pesta sepertinya tukang (sablon) kaos. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, sudah jarang terlihat dan terdengar arak-arakan massa. Berkumpulnya massa di tengah lapangan diiringi musik dangdut. Konsentrasi massa selama kampanye pemilu kali ini sepertinya sekadar di depan televisi atau layar gawai. Menonton berita, debat atau menonton gelar wicara (talkshow).
Setelah pemilu usai, yang terpilih akan berpesta. Merasa sukses dengan kerja kerasnya. Tinggal yang tidak terpilih akan merana. Syukur-syukur tidak masuk rumah sakit jiwa yang sudah disiapkan untuk mereka. Masuk akal karena kampanye menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Para pendukung militan mungkin mengikuti kandidat yang mereka dukung. Kalau kandidat yang mereka dukung menang, mereka ikut berpesta. Kalau kandidat kalah, mereka akan ikut merasa kalah. Bagaimana dengan 204 juta pemilih? Mereka akan kembali pada aktivitasnya masing-masing. Mereka akan kembali dilupakan. Untuk nanti lima tahun lagi, didatangi dan diiming-imingi dengan janji lagi. Begitulah siklusĀ sebuahĀ pesta.
Ini, sangat benar sekali, seperti di ig story bapak ketika ada orang yang menanyakan alamat.
Dirumah bapak saya mendesak saya untuk memilih capres yang bapak saya pilih, ibu saya ikut saja, tetapi pilihan kakek nenek saya juga berbeda, itu membuat perseteruan didalam keluarga. Sedangkan yang saya pikirkan, bagaimana cara meraih impian saya, saya harus berusaha, bukanya membuang buang waktu untuk mengikuti siapa. Saya pengembara, suka berpetualang mencari ilmu dan pengalaman, saya suka kebebasan. Jadi mau siapapun presidennya, tetap saja koruptor tetap ada, pajak mencekik, rakyat kelaparan, dll, disini saya berpikir lagi, yang menentukan hidup saya seterusnya ya diri saya, bukan orang yang saya pilih. Terimakasih, ini pikiran yg saya sampaikan malam ini.