Tahun lalu sempat viral mengenai style (gaya) pekerja yang berkantor di Sudirman Central Bisnis District (SCBD). Disebutkan, pekerja di daerah SCBD ini sering terlihat menggunakan lanyard (tali kalung ID Card) bermerek Coach hingga mengenakan flat shoes bermerk Tory Burch. Belakangan masih ditambah lagi dengan gaya bicara yang kalau diperhatikan, sering mencampuradukkan bahasa Inggris dalam percakapan. Gaya anak Jakarta Selatan (Jaksel) katanya. Sesuai dengan lokasi SCBD yang berada di Jakarta Selatan.
Kawasan SCBD sebenarnya merupakan kawasan bisnis terpadu yang dibangun sejak akhir tahun 80an. Kawasan yang konon merupakan daerah resapan di Jakarta itu, disulap menjadi kawasan bisnis nomer satu di Indonesia. Konon harga per meter tanahnya merupakan yang termahal di Indonesia. Dimulai dengan dibangunnya gedung Bank Artha Graha dan gedung Bursa Efek Indonesia (dahulu Bursa Edek Jakarta), kawasan tersebut berisi ragam gedung dengan ragam peruntukan. Selain gedung perkantoran, juga pusat perbelanjaan, hunian (apartemen) hingga pusat hiburan (Kafe Bengkel). Bahkan pada saat krisis moneter melanda Indonesia, ketika banyak yang kehilangan pekerjaan, di kawasan tersebut disediakam satu area khusus untuk menampung mereka yang mengusahakan tenda menjual makanan. Waktu itu disenut dengan Kawasan Tenda Semanggi (KTS). Karena memang letak SCBD tidak jauh dari jembatan Semanggi.
Belakangan SCBD bergeser makna. Bukan lagi mengacu pada kawasan bisnis (bisnis diatrict) namun menjadi Sudirman Citayam Bojong Gede Depok. Satu nama masih mengacu pada wilayah di Jakarta Selatan. Sementara tiga nama sisanya sudah bergeser ke Selatan Jakarta. Daerah Urban yang berkembang pesat dengan semakin sempitnya lahan untuk tempat tinggal di Jakarta. Menjual fasilitas jalur kereta api listrik (KRL), para pengembang berlomba membangun perumahan bagi mereka yang bekerja atau beraktivitas di Jakarta.
Adalah media sosial yang membantu memperkenalkan fenomena ini. Awalnya adalah adanya kebutuhan remaja yang berada di Selatan Jakarta untuk mencari tempat nongkrong. Mencari hiburan yang berbeda dari yang selama ini mereka temui. Bermodal 10.000 rupiah, mereka sudah bisa menumpang KRL dari daerahnya masing-masing untuk sekadar nongkrong di Stasiun Dukuh Atas. Salah satu tujuan akhir dari KRL yang berasal dari seputar Jabodetabek. Hal tersebut ditbah lagi dengan dibenahinya kawasan Dukuh Atas. Kawasan yang tadinya hanya stasiun biasa, sekarang menjadi pertemuan ragam moda yang muncul belakangan. Sebut saja Moda Raya Transportasi (MRT) dan (kelak) Light Rapid Transportation (LRT). Pertemuan beberapa moda tersebut membuat kawasan tersebut dipercantik. Suasana yang semakin menarik minat para remaca Citayam dan sekitarnya untuk berkunjung.
Semakin hari semakin ramai. Penggiat konten kreator meliputnya dari beragam sudut. Nama seperti Jeje, Bonge, Roy dan yang lain mendadak menjadi selebew (entah artinya apa, tapi dipopulerkan oleh Jeje). Mungkin artinya selebritas yang area SCBD (reborn).
Kesederhanaan mereka mencuri perhatian. Polah mereka memantik kekaguman. Mereka santai saja berdandan apa adanya. Ala kadarnya. Memadupadankan pakaian yang mereka punya. Yang bukan dibeli di mal terkenal di Jakarta Selatan, bahkan mungkin hanya beli di emperan atau pasar kaget yang ada di dekat rumah. Tidak perlu wangi layaknya anak Jaksel. Tidak perlu sepatu Tory Burch bahkan lanyard Coach. Yang kalau mereka tahu harganya mungkin membuat mereka berpikir seribu kali untuk membelanjakannya. Tidak perlu menenteng tumbler berlogo hijau untuk mendapatkan kopi murah. Ada tukang kopi keliling dengan sepedanya, yang siap menyeduhkan kopi buat mereka. Boba berganti Marimas sachetan pada pedagang sama. Tidak perlu terlihat sok pintar dengan mencamputadukkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Biacara apa adanya.
Pakaian mereka yang apa adanya. Menumpuk ragam model dalam satu kesatuan membuat daerah Dukuh Atas menjadi semacam etalase peragaan busana. Citayam Fashion Week disematkan kepada aktivitas mereka. Yang terjadi kemudian adalah fenomena. Kesederhanaan mereka berbuah banyak hal. Menjadi perhatian. Mengundang decak kagum (meski ada yang nyinyir dengan aroma mereka). Mengundang para pesohor yang sebenarnya sudah punya tempat tersendiri yang mungkin sudah diluar jangkauan Jeje dan teman-temannya, untuk justru turun. Biasa nongkrong di ademnya penyejuk udara Pacific Place, membuat mereka ikut arus yang ada. Bahkan beberapa pejabat mulai dari Gubernur sampai level menteri ikut masuk ke area itu. Hingga menawarkan bea siswa kepada beberapa nama yang dianggap beken.
Salut kepada Jeje, Bonge dan teman-temannya. Mereka memberi tahu dunia, dengan menjadi apa adanya, merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Tanpa berusaha menjadi orang lain demi mengikuti gaya lingkungan sekitar. Memaksakan diri untuk tidak terlihat berbeda. Yang kadang mengirbankan banyak hal karena sebenarnya kemampuan belumlah mendukung.