Tergelitik, merasa lucu sekaligus kesal membaca detik siang ini. Soal usulan pentingnya membentuk penyelidik independen untuk menyelesaikan permasalahan [kalau tidak mau disebut sebagai perseteruan] antara Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] dan Kepolisian Republik Indonesia [Polisi]. Ditambah lagi hal tersebut diusulkan seorang wakil rakyat.
Mungkin niatnya baik. Agar permasalahan yang ada dan sedang menyedot perhatian publik, beberapa hari terakhir dapat selesai. Dan kedua institusi dapat melanjutkan tugasnya masing-masing. Sesuatu hal yang patut didukung mestinya.
Namun menurutku, justru semangat pembentukan penyelidik [entah apapun nama dan bentuknya kelak kalau jadi dibentuk] adalah awal permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Tidak bisa dipungkiri, persoalan yang sedang terjadi sekarang diawali dari ‘perseteruan’ antara Polisi dan KPK. Bagaimana seorang petinggi Polisi menganalogikan institusinya sebagai buaya dan institusi lain yang memang baru dibentuk, sebagai cicak. Sama-sama binatang melata, meski berbeda tempat hidup.
Entah apa yang ada dalam benak pak Polisi waktu menyampaikan analogi seperti itu pada wartawan Tempo. Namun yang aku tangkap, ada semacam perasaan yang satu lebih hebat dari yang lain. Perasaan yang satu lebih pintar dari yang lain. Perasaan yang aku rasa sah saja, bila diandaikan bahwa yang lebih dahulu dibentuk pastilah punya pengalaman lebih berjibun dari yang dibentuk belakangan.
Namun sepertinya pak Polisi lupa. Pembentukan KPK, juga komisi dan lembaga lain, hanyalah akibat dari tidak berjalannya fungsi lembaga yang harusnya bertugas untuk memberantas korupsi. Menurut pendapatku yang tidak terlalu mengerti ilmu tata negara apalagi ilmu hukum, memberantas korupsi cukup dijalankan oleh lembaga ‘biasa’ semacam Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.
Pelanggaran Undang Undang, bisa diendus oleh Polisi. Penuntutan atas pelanggaran, bisa dilakukan oleh Kejaksaan. Pengenaan vonis, apakah seseorang atau lembaga bersalah atau tidak dalam hal adanya dugaan pelanggaran peraturan, dilakukan oleh kehakiman. Sekali lagi ini hanya dari pandangan dari seorang awam.
Namun kenyataannya, untuk memberantas korupsi, pemerintah dan DPR merasa perlu membentuk KPK. Demikian juga dengan urusan lembaga lain. Dibentuklah Komisi Yudisial, dan berbagai komisi yang dibentuk oleh karena tidak berjalannya sistem yang ada. Oleh karena itu, menurutku, selain sebuah pemborosan dari sisi anggaran, pembentukan lembaga lembaga baru ini adalah sebuah kesiasiaan.
Tidak berjalannya lembaga yang telah ada, tidak perlu membuat dibentuknya lembaga baru untuk menggantikannya. Cukuplah Presiden sebagai Kepala Negara memberi teguran kepada pimpinan lembaga itu. Apalagi dengan pemilihan langsung sebagaimana yang sudah dilakukan oleh bangsa ini. Enampuluh persen suara rakyat merupakan modal yang cukup bagi seorang Presiden sebagai Kepala Negara [bukan Kepala Pemerintahan] untuk berbuat sesuatu. Sebagai Kepala Negara, Presiden berwenang menentukan arah perjalanan bangsa ini, tanpa takut dianggap sebagai intervensi terhadap lembaga lain yang mungkin dalam tata negara, dianggap sejajar dengan Presiden sebagai Kepala Negara.
Tapi semuanya kembali kepada keinginan dan kemauan. Meski tidak memilih beliau dalam pemilihan umum kemarin, Presiden sekarang tetaplah Presidenku juga. Jadi aku lebih mendukung kalau Presiden sebagai Kepala Negara, menengahi perselisihan yang ada. Daripada menyerahkan upaya penyelesaian yang ada kepada kedua pihak yang berselisih. Atau yang lebih menyedihkan lagi, membiarkan persoalan yang ada mengambang tanpa kejelasan.
bisa saja Lae…
aku juga taraf belajar koq Lae. jadi harusnya kita sama-sama belajar…hehehe
soal siapa yang kejepit mungkin tidak semenarik, soal siapa yang tertawa diantara perseteruan itu :-)
Horas,JBU
bagus banget tulisannya lae, mudah dimengerti apa yg lae utarakan.tetap menulis lae dan suatu waktu aku jg akan belajar ama lae. saran kalo bisa buat ulasan atas perseteruan ciciak ama buaya itu lae, trus yg kejepit sapa yach kalo mereka marbada ? hahahha
JBU