Sebagaimana biasa setiap awal tahun ajaran baru, aku menyampul buku anak-anak. Dimulai dari buku Gabriel (buku kelas 2 SD) karena buku abangnya belum diberikan oleh sekolah. Sambil menyampul aku tertarik mencari tahu, sebenarnya apa yang diajarkan pada mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ). Karena rasanya waktu satu tahun cukup untuk mengenalkan (budaya) Jakarta. Kenapa harus ada buku (pelajaran) untuk tahun kedua dan seterusnya.
Namun alangkah kagetnya ketika membaca satu (konon) cerita rakyat pada halaman 74 buku terbitan yudhistira tersebut. Judulnya “Cerita Bang Maman dari Kali Pasirâ€
Bang Maman adalah pedagang buah di Kali Pasir. Istrinya telah lama meninggal dunia. Bang Maman memiliki seorang putri bernama Ijah. Bang Mana berniat menjodohkan Ijah dengan Salim anak pak Darip, seorang kaya. Meski kaya, konon Salim anak baik dan tidak sombong.
Setelah mereka menikah, pak Darip meninggal dunia. Salim mendapat warisan. Karena tidak bisa mengurus warisan, Salim menyerahkan pengurusannya kepada Kusen orang kepercayaan pak Darip. Sampai satu saat, istri Kusen menyuruhnya untuk menjual seluruh warisan dan meninggalkan Salim. Salim pun jatuh miskin. Akhirnya menjadi pedagang buah. Bang Maman malu karena Ijah hidup miskin, lantas meminta bantuan Fatme untuk mengaku sebagai istri Salim dan menemui Ijah. Ijah marah pada Salim. Salim meninggalkan Ijah.
Ijah berkenalan dengan Ujang. Kemudian mereka menikah. Ketika pesta pernikahan, polisi menangkap Ujang karena ternyata Ujang seorang perampok. Bang Maman ikut ke kantor polisi sebagai saksi.
Disajikan dalam bentuk komik, seolah aku menonton sinetron yang ditayangkan di televisi lokal. Terus terang gak bisa paham, nilai luhur apa yang hendak diajarkan kepada anak kelas dua sekolah dasar dengan setting cerita seperti ini. Jika ingin menonjolkan baik dan buruk, nusantara mengenal si kancil. Jika ingin lebih membumi (mengambil setting Betawi) dan menghindari penggunaan si kancil, bisa dengan alur cerita lain. Pemilihan setting Kali Pasir seolah dipaksakan semata agar pas dengan tempat di Jakarta. Semata agar pas dengan topik Cerita Rakyat Betawi. Mungkin karena aku bukan warga Betawi (Jakarta) cerita rakyat yang kukenal hanyalah si Pitung atau soal Nyai Desima.
Dalam pandanganku, mungkin PLBJ ini menjadi jalan mengajarkan kepada anak anak (Jakarta) pendidikan budi pekerti. Namun membaca cerita di atas, aku malah ragu dengan tujuan itu. Apa yang hendak diajarkan kepada anak kelas dua, ketika bang Maman sebagai orang tua yang tadinya menjodohkan putrinya dengan Salim, kemudian berbalik meminta bantuan Fatme untuk mengganggu rumah tangga Ijah ketika Salim akhirnya jatuh miskin?
Soal baik dan jahat mungkin soal sederhana. Yang baik akan sentosa, yang jahat akan celaka. Perampok adalah penjahat dan untuk itu layak diurus polisi, dan setelahnya layak untuk ditindaklanjuti dengan proses persidangan agar mendapat hukuman yang setimpal. Mungkin memang tidak cukup satu dua halaman komik untuk mejelaskannya. Atau mungkin anak kelas dua belum bisa menerima penjelasan yang oleh orang dewasa sendiri belum bisa memahaminya. Namun melakukan simplifikasi sebagaimana penutup komik di atas menurutku agak kurang pas.
Selama ini aku sudah cukup nyaman ketika anak anak tidak menonton sinetron di rumah. Tidak masalah keluar biaya sedikit untuk berlangganan tv kabel, dan anak anak lebih menonton tayangan non lokal. Namun kok ya malah kecolongan di sekolah dengan menyajikan cerita yang katanya cerita rakyat namun ternyata sebuah penggalan s*itnetron :-(