Awalnya agak skeptis ketika diajak meninton film ini. Paling juga biasa-biasa saja. Paling juga logatnya dipaksakan.
Ternyata tidak. Mungkin ini sudah entah film atau kisah kesekian (kalau mau dihitung dengan sinetron) yang bercerita soal pariban. Hubungan kekerabatan Batak yang terkait dengan jodoh. Namun ini berbeda.
Soal logat, hanya Joe P-Project yang menurutku kurang pas dan tidak jauh dari anggapan awal. Selebihnya mereka menggunakan logat Medan. Bukan ‘logat Medan’ atau ‘logat Batak’ yang dipaksakan dengan pengucapan e yang tak biasa (e pepat atau e taling, entahlah. Kalian paham maksudku). Logat Medan itu khas. Mungkin karena pertemuan ragam suku. Batak, Melayu, Jawa, Aceh, Sumatera Barat (Padang) dan seterusnya. Sebagaimana penduduk kota Medan yang beragam.
Selain itu, yang cukup mengganggu buatku juga penggunaan bahasa Batak dalam beberapa dialog. Sebagai pemakai bahasa Batak cukup aktif, aku merasakan kejanggalan. Tapi masih bisa dimaafkan. Kenapa misalnya tidak menggunakan istilah ‘pidong’ yang berarti ‘burung’ daripada istilah yang digunakan dalam film. Istilahnya sendiri aku lupa. Selain karena tidak biasa, dalam beberapa dialog, artikulasi aktor dan aktris tidak cukup jelas didengar. Entah karena sound atau pengucapannya yang kurang jelas.
Para pemain juga cukup bermain rapi menurutku. Terutama pemeran Binsar dan Tulang. Jujur belum familiar dengan mereka namun okelah. Juga peran nantulang yang sulit menghindar pertanyaan timbul, kenapa masuk kasting? Bukankah biasanya main dalam film yang bernuansa tionghoa? Tapi sudahlah. Nantulang berperan pas koq. Juga dengan ‘suntil’ dan celetukan yang memancing tawa.
Tawa. Itulah yang menghiasi hampir sepanjang film. Utamanya lewan peran Binsar, Tulang dan Nantulang. Bahkan ‘peran kecil’ kang warung penjual mie rebus, mampu mengundang tawa. Celetukannya akrab dengan kami yang besar di Sumatera Utara atau di Medan [Kenlap! 🤣].
Sedari awal sudah bertanya, tanya-apakah durasi film ini mampu mengangkat tema Pariban hingga tuntas? Mengingat kisah kegundahan Ratu Inggris yang dikisahkan cukup lama sebelum Moan memulai petualangan di Bona Pasogit yang pastinya menjadi sentral cerita soal Pariban. Pertanyaan itu terjawab di akhir film. Ternyata penonton disuruh menunggu tiga bulan.
Oh ya. Satu hal lagi. Berharap ilustrasinya digarap oleh Viky Sianipar. Namun pasti ada pertimbangan lain lah ☺️
Terima kasih, lae Andi Bachtiar Yusuf. Sempat ‘muncul’ sebagai Cameo ya. Ketika Moan sibuk di laptop 😝
—
tulisan ini pernah tayang disini pada tanggal 9 Mei 2019