Menyebar lewat media sosial, aksi heroik pesepeda menghentikan iringan pemotor gede. Umpatan menyeruak kepada pemilik motor gede. Seolah merekalah pesakitannya. Hingga lupa kadang kita kerap berada pada situasi sama dengan pemotor gede.
Kita lupa, juga kerap melanggar aturan. Hanya ketika tak ada yang mengawasi. Ketika tak jelas apa sanksinya. Dengan sadar. Dengan dalih yang hanya kita sendiri pemiliknya.
Menerobos lampu merah hanya karena jalanan sepi. Melintas bahu tol semata agar berada di antrian terdepan. Menerobos antrian masuk tol atau melintasi garis tak putus demi tujuan sama. Pengiring mobil pejabat ngiung ngiung meminta jalur kosong di jalan tol padat tak tekira dengan dalih urusan negara (padahal mungkin dia melakukannya ketika hendak pulang bertemu keluarganya). Bis dan truk seenaknya berpindah jalur, ketika rambu tol mengatakan mereka harus mengambil lajur paling kiri. Angkutan kota seenaknya berhenti bukan pada tempatnya. Bahkan untuk waktu lama.
Daripada bis, truk atau angkot, polisi lebih suka memberi tilang kepada mobil pribadi. Daripada motor bebek yang kadang pengemudinya lebih ingat menggunakan helm (kalaupun menggunakan helm) daripada otaknya, polisi tetap memilih menghukum mobil pribadi.
Kita kerap lupa, kitapun suka meniru pemotor gede di Jogja itu. Dengan senyum sumringah melanggar rambu lalu lintas ketika berada pada komunitas mirip. Komunitas motor (kecil atau besar), komunitas mobil (kuno, sederhana atau mewah), komunitas sepeda, komunitas lari, komunitas jalan kaki. Hanya karena kita dikawal polisi 😀
Siapa salah? Kita semua. Tak usah mencari kambing hitam. Hari ini ramai besok lusa terulang lagi. Tanpa perbaikan. Katanya karena bangsa kita pendek ingatan.
Penegak hukum masih pandang bulu. Pengguna jalan masih gak mau tahu. Dan kita masing masing setia dengan keadaan itu.
Merdeka bukan berarti bebas semaunya. Bukan itu yang diinginkan pendiri bangsa ini.