Dua minggu terakhir, aku ikut ambil bagian melakukan wawancara terhadap calon karyawan untuk mengisi kekosongan personil di divisi mana aku berada. Salah satu pertanyaan ‘standar’ yang selalu kami ajukan kepada kandidat adalah, bagaimana orang terdekat menggambarkan sang kandidat. Sebuah pertanyaan yang [menurutku] minimal menggambarkan dua hal. Pertama adalah kejujuran sang kandidat. Yang berikutnya, pewawancara mengetahui sifat sang kandidat [entah sikap yang positif atau yang negatif] berdasarkan pendapat orang lain.
Buatku pribadi, tujuan kedua agak sulit juga dicapai. Karena, pasti akan bias. Bisa saja, dengan niat ‘menjual diri’, sang kandidat akan memberi jawaban yang bagus saja. Atau bisa juga dengan latar belakang sungkan, sang kandidat tidak mengungkapkan apa adanya. Selain itu, entah mengapa, menurutku latar belakang budaya sebagai bangsa timur, membuat seseorang [mungkin tidak semua orang] tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang menjadi kelebihannya [juga termasuk kekurangannya].
Dengan demikian, aku percaya bahwa bila ingin melihat kepribadian atau sifat seseorang, cobalah lihat atau tanya pendapat orang lain tentang dia. Bukan semata dari apa yang disampaikan orang yang hendak kita nilai. Dengan demikian, kesan subjektif bisa dibuang.
Terkait dengan itu, saat ini aku juga sedang membaca dua buku tentang dua orang pemimpin bangsa ini. Presiden dan Wakil Presiden periode sebelum sekarang. Dua buku yang hampir mirip. Dua buku yang terbit hampir bersamaan, memuat pendapat orang lain tentang sang tokoh. Buku pertama, “Energi Positif” bercerita tentang sang presiden. Sementara sebagaimana judulnya yang, “Mereka Bicara JK” bercerita soal sang wakil. Keduanya ditulis oleh beragam tokoh. Mulai dari birokrat, tokoh politik, tokoh agama, wartawan, kalangan dekat dan sebagainya.
Terus terang aku belum selesai membaca keduanya. Karena aku membaca tidak seperti membaca fiksi yang runut dari awal hingga akhir. Namun langsung kepada tulisan orang per orang mengenai sang tokoh. Namun yang aku tangkap dari apa yang aku baca, menurutku menggambarkan bagaimana sang tokoh yang sedang dibahas.
Membaca dan membandingkan kedua buku, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pada keseharian mereka berdua. Yeah, setidaknya yang terlihat di media pastinya. Karena hanya itu sarana yang aku punya. Membaca kedua buku membuatku berpikir bahwa bukunya sendiri seperti sang tokoh.
Energi Positif, menyambut ditetapkannya sang presiden sebagai tokoh berpengaruh versi sebuah majalah berita ternama. Diisi dengan tulisan yang, menurutku lebih mirip buku teks yang kalau tidak sedang menghadapi ujian bisa dilupakan. Beberapa bagian tulisan malah bercerita soal lain, bukan soal sang tokoh.
Alih alih bercerita soal tokoh, seorang penulis malah lebih banyak bercerita soal krisis keuangan global termasuk PDB dan nilai tukar rupiah di halaman 136 sampai 144. Bah! Mungkin memang keahlian penulis ada disana. Terbukti beliau termasuk yang dipilih menjadi pembantu sang Presiden diperiode kedua. Meski sempat ‘dipermainkan’ saat pelantikan dan ketika hendak mengikuti sidang kabinet. Kesan menggambarkan sang Presiden, aku buang dengan sub judul buku itu, ‘Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY’.
Berbeda dengan Energi Positif, Mereka Bicara, seperti melihat keseharian JK yang bersahaja, apa adanya dan blak blakan. Terkesan tidak suka dengan aturan protokoler. Tulisan yang ada juga apa adanya. Mulai dari pemilihan judul hingga materi tulisan. Lihatlah misalnya ada yang menulis dengan judul, ‘Dia Tak Punya Naluri Politikus’ (halaman 53). Atau lihat juga tulisan mantan rektor perguruan tinggi ternama yang dengan bebas bilang, “…Kalau kesal, ya kesal sekali waktu JK bilang ‘bubarkan Ristek’ itu. Empet banget! Kalimat kalimat menohok beliau….”
Demikianlah. Seperti yang sudah sampaikan,membaca kedua buku [terlepas dari tujuan penerbitan dan sub judul buku pertama diatas], seperti berhadapan langsung dengan sang tokoh. Yang satu lebih kepada persoalan makro dan gambaran besar. Sementara yang lain bicara langsung kepada tujuan dan apa adanya.