Karena anak anak ditraktir mertua untuk jalan jalan ke manca negara, terpaksa mengurus paspor anak anak. Sesuatu yang tidak pernah terpikir buatku. Konon pulak mengurus paspor anak anak, mengurus paspor sendiri saja aku males jika tidak ada penugasan dari kantor.
Mengumpulkan dari sana sini, aku memperoleh informasi bahwa sekarang pengurusan paspor sudah lebih mudah. Mendaftar sudah bisa dilakukan daring (online). Aku pun mengunjungi laman web imigrasi. Ternyata laman pendaftaran tidak bisa diakses. Berdasarkan informasi, konon servernya disambar petir. HEH!?!? Beberapa minggu mencoba mengakses, perbaikan tak kunjung dilakukan. Akses masih belum bisa dilakukan. Akhirnya kuputuskan untuk mendaftar sendiri, di tempat.
Berdasarkan informasi juga, pendaftaran per hari dibatasi hanya beberapa nomor. Terbatas. Akupun menyiapkan anak anak untuk siap menghadapi situasi terburuk (JIAH!!). Gawai dibawa, baterai dan power bank terisi penuh. Jalan pagi hari dari rumah. Anak anak permisi tidak masuk sekolah. Pukul 07.00 pagi kami sudah mengantri. Di kantor imigrasi Jakarta Timur.
Entah karena laman web rusak atau karena travel fair baru berakhir, pendaftar membludak. Untuk mendapatkan nomor 185 dan 186, butuh waktu antri hampir dua jam! Selesai mengantri nomor, kami masuk ke ruang verifikasi dokumen. Tempatnya lumayan sejuk, namun tetap ramai. Kuperkirakan, ada 200an nomor yang mendaftar hari itu. Verifikasi dokumen berlangsung kurang lebih satu jam sejak masuk ruangan! Sekitar pukul 11.00 kami dipersilahkan naik ke lantai 2 untuk wawancara dan pengambilan foto. Dari informasi hasil tanya sana sini, aku memperoleh informasi, nomor yang sudah diproses masih hitungan puluhan. Dem!!
Di lantai dua antrian sudah ramai, meski semuanya duduk rapi dalam ruangan berpendingin udara, terbayang waktu yang kami butuhkan untuk melalui ini. Ada tujuh loket yang dibuka. Proses yang berlangsung membuatku menyesal kenapa tidak menggunakan calo saja. Meski harga yang ditawarkan lebih dari dua kali lipat tarif resmi yang hanya 655 ribu rupiah per satu paspor elektronik.
Setiap selesai mengurus satu pendaftar, petugas tidak langsung memanggil pendaftar berikutnya. Mereka ngobrol sesamanya, bercanda sekadarnya mungkin. Sesekali terlihat memeriksa telepon genggam. Mungkin memeriksa pesan masuk kemudian membalasnya. Manusiawi mungkin. Entahlah. Namun aku yang melihat (mungkin yang lain juga) sebel dibuatnya. Antrian semakin banyak padahal. Mereka yang selesai verifikasi dokumen beranjak naik ke atas.
Waktu makan siang tiba. Beberapa petugas bergesas meninggalkan loketnya. Hanya tersisa tiga loket yang melayani. Kelakuan hampir sama. Aku ragu. Aku bingung. Anak anak pasti lapar. Sementara petugas masih melayani dengan santainya. Aku tidak berharap petugas bekerja cepat tanpa berhati hati. Karena ini menyangkut dokumen negara. Minimal mereka tidak bercanda atau tidak berlama lama dengan telepon genggamnya.
Karena khawatir nomer terlewat plus agar anak anak adem dan biasa dengan suasana antrian, akhirnya aku memesan makanan melalui ojek daring. Aku turun ke bawah sebentar untuk mengambil pesanan makanan. Kami makan di area kosong di sebelah belakang ruang wawancara. Setelahnya menunggu lagi. Beruntung kedua pengaju paspor tidak terlalu mengeluh. Terima kasih kepada teknologi dan permintaan mereka agar segera dibuatkan paspor. Karena kedua hal tersebutlah yang bisa membuat mereka bersabar.
Selesai makan, kami masih menunggu. Aku yang mendampingi sudah dihinggapinrasa bosan dan kesal sejak tadi. Penantian aku isi dengan beberapa kali mondar mandir. Sesekali turun ke bawah meninggalkan anak anak di atas. Penyesalan mengapa tidak menggunakan calo beberapa kali muncul. Rasanya memberi uang sejuta untuk satu paspor, pantas saja jika melihat kondisi ini. Belum lagi mengingat urusan kantor yang aku tinggalin karena awalnya berpikir pengurusan ini bisa selesai dalam setengah hari.
Sekitar pukul 17.00 akhirnya keduanya selesai difoto. Karena paspor elektronik, petugas bilang bahwa paspor akan selesai dalam sebulan. APA?!?!?! Lega bercampur kesal atau sebaliknya. Aku menerima bukti pendaftaran dan nomor rekening untuk membayar biaya pengurusan. Tertulis catatan dalam pengambilan paspor. Bahwa pembayaran dilakukan paling lambat dalam 7 hari kerja. Pengambilan paspor 3 hari kerja setelah melakukan pembayaran. Apabila pemohon tidak datang kembali dalam 30 hari sejak tanggal permohonan, permohonan dinyatakan batal!. “Yeah, right” batinku mengingat waktu sebulan yang dijanjikan petugas foto.
Ketika pulang dan menunggu kendaraan, Gabriel hanya berucap, “we’ve been ten hours, here”. “Katanya mau dibikinin paspor…” jawabku. Dalam hati aku membatin, GILAK!!!!
Aku sempat mencatat nomor pengaduan yang dipampang pada dinding kantor imigrasi. Aku mengirim pesan untuk minta perhatian. Sampai kami kembali dari kantor imigrasi, pesanku (whatsapp) tidak dibaca!! Baru dibalas beberapa hari kemudian. GILAK!!!! (2). Ke mana yang namanya revolusi mental. Di mana yang disebut siap melayani? Satu hari terbuang percuma?!?!?
Hari ini aku kembali lagi ke kantor imigrasi. Karena sebagaimana janji, sebulan paspor akan selesai. Sambil berharap semua dimudahkan. Karena berdasarkan catatan pada lembar pembayaran, sudah lebih dari 30 hari sebenarnya. Karena tiba sudah pukul 11.00, tidak perlu mengantri mengambil nomor antrian. Karena loket pengambilan dibuka mulai pukul 10.00. Aku mendapat nomor 138 dan 139. Masih lebih pendek dari nomor antrian pembuatan. Lama menunggu, pukul 12.00 petugas mengumumkan waktu makan siang dan shalat telah tiba. Kami yang menunggu di dalam ruangan diminta kembali pada pukul 13.00, ketika nomor antrian sudah mencapai 130. Aku mencoba bertanya, apa tidak ada satu petugas yang bisa melayani? Sebagaimana loket foto di atas yang pelayanannya tidak berhenti sama sekali meski waktu makan siang tiba. Tidak ada kata petugas. Naseeb. 😔😔😔
Pukul 13.00 persis aku sudah kembali ke ruangan pengambilan. Melewatkan makan siang yang memikirkannya pun aku sudah tak selera. Selain karena leletnya pelayanan, juga karena rasanya masih kenyang sehabis makan sate dan empal gentong sisa acara seremoni tadi pagi.
Dan ketika petugas mulai memanggil kembali, dimulai dari 140!! HEH!?!? Beberapa pendaftar yang nomernya terlewati, berdiri serentak dan mendatangi petugas. untunglah petugas akhirnya menyadari kesalahannya.
aku tidak sendiri ternyata. thanks for sharing bang
Hampir sama pengalamannya, Lae. Minggu lalu mengantar anak ke Kanim Jaktim. Setelah antre empat jam, petugas di bagian pendataan menyuruh kami ke Kanim Jaksel di Buncit karena paspor lama diterbitkan di sana. Tadi pagi jam 05.30 ke Kanim Jaksel di Buncit. Antre sebentar. Pas mau ambil nomor, saya tanya pada petugas. Apa nanti bisa dilakukan koreksi nama? Karena nama yg ada di paspor lama salah tulis. Dijawab petugas, nanti dikatakan saja pada petugas di bagian pendataan. Masih belum yakin, pertanyaan serupa saya tanyakan lagi pada petugas yang lain. Jawabannya sama. Jelaskan saja pada petugas di dalam. Ternyata di dalam, petugas bagian pendataan tidak mau melakukan koreksi nama. Alasannya sudah tersimpan di data base. Saya sodorkan semua bukti nama anak dari akte lahir, kartu keluarga, ktp, dan kartu karyawannya. Saya disuruh menghadap kepala Kanim. Saya ke ruangan Kakanim, ternyata dia tidak ada. Tapi ada petugas di depan pintu Pak Katua itu menjelaskan pada saya, agar ke loket BAP saja untuk koreksi nama. Saya pun ke BAP. Petugas BAP minta nomor antre. Wah! Saya buru2 keluar ke bagian pendaftaran. Eh, petugas yang saya tanya pertama tadi, membawa saya kembali ke BAP, menjelaskan kepada temannya di sana. Saya kira urusannya selesai, ternyata belum. Saya dioper ke petugas BAP lain. Petugas itu memeriksa berkas satu persatu. Lalu nanya, ada ijazah SD sampai SMA? Buat apa? Untuk mencocokan nama. Lha, itu ada Akte Lahir. Itu dokumen negara. Semua nama yang ada di ijazah, ktp, merujuk ke sana. Rupanya dia tersinggung, seolah-olah saya menyalahkan dia. Ya udah, ambil nomor antre BAP. Saya buru-buru ke meja pendaftaran tadi. Di meja sudah ada tulisan CLOSED. Bapak yang saya tanya pertama kali tadi ada di sana. Kalau bapak jawab tadi mesti ke BAP dulu, gak serumit ini jadinya. Loket sudah tutup, waktu saya habis di sini. Kenapa sih yang mudah dipersulit? Dia nyengir saja. Jadi besok pagi kembali ke sana. Tak tahu apa lagi yang akan terjadi besok.