Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, kalimat adalah kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran atau perasaan. Sebuah kalimat diawali dengan huruf besar, diakhiri dengan titik. Dalam tata bahasa Indonesia terdapat dua jenis kalimat. Kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Pola dasar kalimat biasanya terdiri dari Subjek, Predikat plus Objek (jika ada).
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu pola kalimat, yaitu hanya memiliki satu subjek dan satu predikat, serta satu keterangan (jika perlu). Sementara kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk ini terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Cara membedakan anak kalimat dan induk kalimat yaitu dengan melihat letak konjungsi [kata penghubung]. Dengan pemahaman demikian, kalimat tunggal harusnya hanya memiliki satu konsep pikiran atau perasaan. Kalaupun harus terdiri dari lebih dari satu pikiran atau perasaan, sudah disebut kalimat majemuk dan memenuhi persyaratan sebagai kalimat majemuk.
Susunan beberapa kalimat, menjadi sebuah paragraf [http://id.wikipedia.org/wiki/Paragraf]. Paragraf umumnya terdiri dari tiga hingga tujuh kalimat semuanya tergabung dalam pernyataan berparagraf tunggal. Aku sendiri dalam menyusun paragraf, berusaha untuk terdiri dari tiga kalimat. Hal ini karena aku senantiasa mengingat apa yang pernah disampaikan oleh salah satu dosen ketika kuliah dulu. Mungkin beliau menganalogikan dengan kalimat. Bahwa sebuah kalimat haruslah terdiri dari satu pokok pikiran, demikian juga paragraf.
Proses pembentukan kalimat [dan mungkin pembentukan paragraf] ini terpikir kembali olehku, ketika membaca majalah Rolling Sone [RS] terbaru. Kebetulan aku berlangganan dan rutin membaca setiap edisinya. Sudah lama sebenarnya aku merasa terganggu dengan kalimat dan paragraph yang ada pada setiap artikelnya. Terutama artikel yang ditulis sendiri oleh wartawan lokal. Kenapa wartawan lokal? Karena sebagai majalah yang memegang lisensi dari luar negeri, RS sering memuat artikel yang merupakan terjemahan dari RS edisi luar negeri.
Aku mengambil contoh artikel utama edisi terakhir, yang mengupas mengenai sebuah ban bertajuk SORE. Cobalah simak kalimat berikut :
Awan Garnida Kartadinata, kakak kelas Echa sewaktu SMP dan Bemby di SMA, serta bassist dan vokalis yang gemar memakai analogi The Beatles, merasa bahwa album baru Sore ini mirip Let It Be.
Mungkin jika aku diminta untuk menulis ulang kalimat tersebut, aku akan menulis:
Awan Garnida Kartadinata, bassist dan vokalis yang gemar memakai analogi The Beatles, merasa bahwa album baru Sore ini mirip Let It Be.
Ada beberapa kata yang menurutku tidak perlu diletakkan pada kalimat itu. Hubungan keluarga antar personil, tidak perlu masuk dalam kalimat ini. Mungkin bisa diletakkan pada awal tulisan. Karena artikel ini mengenai band satu band saja, informasi di awal tulisan cukup menjadi bekal pembaca untuk menelusuri isi artikel. Entah kalau tujuannya adalah untuk menunjukkan luasnya pengetahuan wartawan.
Kalimat lain :
Seringkali topi kupluk hitam yang sehari hari menutup kepalanya digantikan oleh rambut palsu berponi, tepatnya saat Awan sedang tampil bersama G-Pluck, band terbaik dan paling diminati di Indonesia yang khusus membawakan lagu-lagu The Beatles.
Terdapat 34 kata.
Alternatif menurutku :
Seringkali topi kupluk hitam yang sehari hari menutup kepalanya digantikan oleh rambut palsu berponi. Hal tersebut dilakukan saat Awan sedang tampil bersama G-Pluck, imitator Beatles terbaik di Indonesia.
MEnjadi 28 kata. Terdapat pengurangan 6 kata. Penghematan enam kata, cukup lumayan untuk satu artikel panjang. Penghematan kata – penghematan kalimat – penghematan tinta, dst…hehehehehe
Kalimat lain :
Untuk penggarapan album ini, Sore dibantu dua produser yang juga musisi pengiring mereka dalam setahun terakhir, yakni Sigit Agung Pramudita dari group folk Tigapagi yang juga rekan Ade di band Marsh Kids, serta Agus Budi Permana alias Adink, yang sempat terkenal di akhir ’90-an lewat group indie pop Klarinet.
Alternatif menurutku :
Untuk penggarapan album ini, Sore dibantu dua produser yang juga musisi pengiring mereka dalam setahun terakhir. Keduanya adalah Sigit Agung Pramudita dari group folk Tigapagi yang juga rekan Ade di band Marsh Kids, serta Agus Budi Permana alias Adink, yang sempat terkenal di akhir ’90-an lewat group indie pop Klarinet.
Dibagi menjadi dua kalimat. Daripada satu kalimat panjang.
Kalimat yang paling panjang menurutku adalah kalimat berikut.
Dialah Ramando “Mondo” Gascaro, pemain keyboard dan vokalis serta sosok yang bertanggung jawab dalam membentuk corak musik Sore yang indah dan kompleks pada album Centralismo (2003) dan Ports Of Lima (2008) semasa berada di band tersebut sejak didirikan -sebagaimana tercantum di kaus Ade- sebelum mengundurkan diri dari band yang didirikan bersama sahabat masa kecilnya, Ade dan Awan, tanpa penjelasan resmi apa pun selain “mereka cukup mengerti kenapa dan sudah waktunya” diwawancara ROLLING STONE pada tahun lalu.
Terdapat 70an kata dalam satu kalimat ini! Entah kalau orang lain membacanya. Aku merasa terengah engah ketika membaca. Tak sabar untuk bertemu dengan titik. Terlalu banyak pokok pikiran yang ingin disampaikan. Selain itu terdapat pengulangan penjelasan mengenai hubungan antar personil, yang seperti aku sebut sebelumnya, hal tersebut bisa diletakkan di awal tulisan.
Ya begitu deh. Mungkin apa yang disampaikan oleh majalah RS adalah standar baku bagi majalah tersebut. Terasa berbeda jika dibandingkan dengan artikel yang ada di TEMPO misalnya. Yang aku tau tetap setia dengan slogan Enak Dibaca dan Perlu.