Soal keinginan untuk hijau, bila ada waktu senggang di akhir pekan, aku akan memberi perhatian pada tanaman-tanamanku. Seperti minggu lalu.
Kebetulan, beberapa hari sebelumnya aku mendapat tiga batang anggrek bulan dari wanita-wanita lantai enam di ‘sisi Pacific Place’. Untuk menjaga agar tanaman tersebut tidak segera layu, begitu malamnya tiba di rumah, aku langsung memindahkannya ke pot tanah liat yang kebetulan memang bersisa tiga. Itu juga merupakan sisa atau pot daur ulang karena sebelumnya, tanaman dari situ telah aku pindahin ke wadah berbeda. Mengingat aku kekurangan pot tanah liat, sementara [sepertinya] pasokan batang anggrek dari wanita-wanita di lantai enam itu akan lebih rutin, aku membeli limabelas pot baru dari Kalimalang depan Universitas Borobudur.
Setiba di rumah, aku memulai aktivitas. Tanaman yang baru beberapa hari aku tempatkan di wadah barunya, aku bongkar lagi. Untuk dipindahkan ke pot yang baru. Kalau tadinya pot itu hanya berisikan belitan ijuk dan serpihan pakis, sekarang aku tambahkan beberapa potong arang. Memang batang anggrek yang aku rapihkan tidak lebih dari lima batang. Sambil merapikan tanaman, istri mendatangi. “Ternyata nyaman juga ya, pak? Memandang betapa ramainya bunga-bunga ini kelak. Padahal pengerjaannya terlihat ribet sekali” Aku cuma menjawab, “emang!”
Aku menjawab seperti itu, karena memang sewaktu merapikan anggrek-anggrek ini, terlihat dan terasalah betapa ribetnya. Arang yang menyisakan serbuk hitam di lantai teras. Karena ternyata ada beberapa yang berpotongan besar dan harus dipecah agar muat dimasukkan ke dalam pot tanah. Kantong plastik tempat serpihan pakis yang rebah dan menumpahkan potongan-potongan kecil pakis ditambah serpihan dari potongan tersebut yang juga agak berantakan. Itu yang terlihat. Urusan ijuk, bukan hanya terlihat. Juga terasa. Karena meski telah dipilin sedemikian rupa, ijuk tersebut masih bisa menyakiti. Ada saja selembar ijuk yang tanpa sengaja menusuk jari.
Keruwetan ini tidak hanya terjadi pada tanaman anggrek. Pengalaman ribet, juga terjadi pada tanaman lain yang tidak menggunakan arang, pakis atau ijuk. Saat memindah dan merapikan tanaman jenis ini, lantai teras akan berantakan dengan adonan tanah dan pupuk kandang. Karena biasanya aku akan menambahkan pupuk kandang ke tanaman bunga selain anggrek. Tidak cukup hanya dengan menaburkannya di bagian atas. Namun tanah pada pot harus dibongkar untuk kemudian dengan perbandingan satu banding satu, aku akan mencampur tanah dengan pupuk kandang. Soal pupuk kandang, entah kenapa aku lebih memilih kotoran kambing. Aku juga lebih memilih pupuk kandang yang halus. Jadi urusan merapikan tanaman jenis ini, keruwetan tidak hanya yang terlihat. Juga terasa. Sebab pupuk kandang dari kambing, apalagi yang berjenis halus, baunya juga lumayan ‘menyengat’.
Soal bersakit-sakit dahulu berenang-renang kemudian ini, terpikir olehku akhir-akhir ini. Ternyata untuk dapat menikmati sesuatu yang indah, mau tidak mau kita harus menghadapi sesuatu yang mungkin akan menyakitkan. Dan itu merupakan sesuatu yang wajar. Bisa saja kita menghindari rasa sakit. Namun ada kemungkinan kita tidak bisa menikmati keindahan kelak. Seperti contoh ijuk tadi. Sekali tertusuk ijuk yang tajam itu, mungkin tidak apa-apa. Namun ternyata tusukan itu tidak akan berlangsung sekali. Bahkan berulang kali, meski setelah tertusuk sekali kita berniat untuk tidak tertusuk lagi. Namun tetap saja tertusuk.
Bila sudah begini, apa yang teringat adalah kalimat yang menyatakan bahwa “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” dari kitab Pengkhotbah 3