Orang bijak,Bayar Pajak.
Hari gini,ga bayar pajak?Apa kata dunia?
Hari gini,ga punya NPWP?Apa kata dunia?
Itulah sebagian tagline yang dipilih Direktorat Jendral Pajak Departemen Keuangan (DJP) dalam meyakinkan warga negara untuk membayar kewajibannya melalui pajak. Sepertinya, terbukti bahwa tagline tersebut ampuh. Jumlah penerimaan pajak, semakin hari semakin meningkat.
Namun soal taat dan bijak itu, dirusak seiring menyeruaknya kasus Gayus Tambunan. Seorang petugas pajak yang konon berpenghasilan Rp 12 juta sebulan, yang dalam sepuluh tahun bekerja sanggup memiliki rumah seharga milyaran Rupiah di kawasan elit. Rasa keadilan masyarakat yang bijak diusik. Muncullah gerakan atau seruan memboikot membayar pajak. Justru disaat saat akhir penyerahan SPT.
Sudah pasti gerakan ini menuai pro kontra. Disatu sisi didukung oleh mereka yang muak terhadap kenyataan bagaimana Gayus mendapat kekayaannya dengan ‘bijak’. Disisi lain, ditentang oleh (tentu saja) pemerintah yang merasa apa yang dibayarkan adalah modal mereka untuk melaksanakan pembangunan sebagaimana menjadi tugas mereka.
Buatku, posisi yang kupilih adalah mendukung gerakan boikot. Bukan untuk tujuan tidak mau membayar pajak. Karena bagaimanapun selama ini pajak yang kubayar kepada negara sudah tidak bisa tidak harus dibayar. Pajak penghasilan langsung dibayar kantor. Pajak makanan juga secara langsung dipotong oleh rumah makan. Bahkan untuk ‘racun’ (rokok) yang kuhisap, pajaknya sudah dibayar didepan oleh produsennya. Pajak kendaraan yang setiap hari kupergunakan juga, rutin kubayar setiap tahun.
Dukunganku lebih kepada agar gerakan ini membuat pemerintah, lebih serius menangani orang orang seperti Gayus yang memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri. Ada sebenarnya argumen yang dilontarkan oleh orang-orang seperti Gayus ini. Bahwa mereka tidak melakukan korupsi dalam artian tidak menjarah uang pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak (WP). Karena konon, modusnya adalah petugas pajak bermain mata dengan WP. Petugas menetapkan tarif yang harus dibayar oleh WP lebih kecil dari yang semestinya dibayarkan. Untuk itu, petugas pajak ini akan mendapat imbalan dari WP tadi. Kalau cara ini yang dipakai oleh seorang Gayus, terbayang berapa banyak pajak yang seharusnya dibayar WP namun tidak diterima di kas negara. Bila seorang Gayus yang baru bekerja 10 (Sepuluh) tahun bisa memiliki harta 20an milyar, bagaimana dengan petugas lain seperti Gayus. Terus terang aku tidak percaya hanya Gayus dan sepuluh orang atasannya itu yang bermain seperti ini.
Menurutku, langkah yang diambil oleh Menteri Keuangan dan aparat dibawahnya sudah tepat. Memberi sanksi kepada Gayus dan sepuluh orang atasan Gayus. Aku bisa membayangkan bagaimana Ibu Menteri merasa ditampar wajahnya. Disaat karyawan di lingkungannya,(termasuk DitJen Pajak) diberi paket remunerasi yang cukup memadai, ternyata ada yang masih mencoba mencuri. Meski aku juga yakin, pekerjaan mencuri itu tidak semata dilakukan dimasa kepemimpinan beliau di Departemen Keuangan.
Namun langkah penonaktifan ini harus diikuti dengan upaya lain. Membersihkan Gayus Gayus lain yang pasti masih banyak bercokol disana. Caranya, pasti ibu Menteri lebih paham. Tidak perlu ragu dan takut. Karena masyarakat bijak yang sudah membayar pajak, berada dibelakangnya. Langkahnya juga harus didukung oleh atasannya. Gerakan membayar pajak yang dirayu dengan cara memberitakan bahwa seorang Presiden pun menyerahkan sendiri SPTnya, harus diikuti dengan gerakan yang mendukung pemerintahan atau administrasi yang bersih tanpa pencuri.
Sistemnya sudah ada. Para penyelenggara negara sudah diberi kewajiban untuk melaporkan kekayaannya secara berkala. Akan lebih baik lagi jika pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Penggantu Undang Undang Pembuktian Terbalik. Agar kekayaan yang dilaporkan para penyelenggara negara tersebut bisa ditelusuri asal muasalnya. Tidak perlu takut mengenai dukungan masyarakat. Bukankah enampuluh persen rakyat memberi beliau mandat untuk melakukan itu?