terpikir etika bertetangga

Manusia adalah makhluk sosial. Itu yang aku tau dan pelajari sejak jaman masih sekolah dasar dulu. Artinya, manusia membutuhkan orang lain dalam kesehariannya. Manusia yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain adalah suatu hal yang jarang terjadi. Mungkin ada satu dua. Tapi seringkali, hal itu disebabkan kecelakaan. Bukan karena kehendaknya sendiri.

Soal ini terpikir olehku, saat Minggu sore mendapat undangan dari ketua Rukun Tetangga dimana aku tinggal. Undangan untuk membicarakan, perilaku seorang warga yang [menurut tetangga sekitarnya] sudah memperlihatkan sikap permusuhan dengan tetangga.

Sang warga, seorang janda [sebut saja Tante Ve] beranak dua lelaki sudah menjadi penduduk di kompeks kami jauh sebelum kami bermukim disitu. Sebenarnya, buat kami [aku dan istri] keanehan sudah terbaca saat pertama sekali kami menjadi penduduk di kompleks yang sekarang kami tinggali. Sebagai penghuni baru, sudah sewajarnya kami memperkenalkan diri kepada warga sekitar. Pada saat mengunjungi rumah Tante Ve, kami merasa aneh dengan penerimaan Tante Ve dan suaminya [saat itu belum almarhum] pada kami. Mereka hanya menjawab sapaan perkenalan kami di teras rumahnya tanpa berusaha mendekat apalagi membuka gerbang di hadapan kami yang berjarak kurang lebih empat meter.

Bukan. Sama sekali kami tidak bermaksud untuk minta dijamu atau dihormati layaknya tamu agung. Namun adalah aneh [menurut kami] saat orang bertamu kerumah kita dengan niat baik, kita terima dengan kesan pertama yang [buat kami] arogan. Tak apalah kami pikir. Karena mungkin kedatangan kami sudah malam saat mereka harusnya istirahat.

Namun keanehan yang kami rasakan, seperti mendapat pembenaran saat beberapa tahun kemudian, suami Tante Ve meninggal dunia. Dari cerita dengan warga, kami ketahui bahwa memang ada kejanggalan dalam hubungan keluarga Tante Ve dengan lingkungan sekitarnya. Meski demikian, tetangga kiri dan kanan yang rumahnya paling dekat dengan Tante Ve, dengan ringan tangan memberi bantuan.

Setelah kejadian itu, Tante Ve seperti berubah. Beberapa kali, dalam kegiatan RT, Tante Ve turut serta dan bersosialisasi dengan warga sekitar. Apalagi setelah ditinggal suaminya, Tante Ve mendapat gangguan dari keluarga almarhum suaminya. Meski sebelumnya, seperti cerita yang kami dengar, keluarga Tante Ve tidak terlalu dekat dengan warga sekitar, secara serempak, warga sekitar melindungi Tante Ve. Saat itu, kami kira keadaan sudah normal kembali. Tante Ve yang semula tertutup dengan warga sekitar, seperti mulai membuka diri. Termasuk ikut serta dalam arisan ibu-ibu yang diadakan sekali sebulan.

Namun, semakin kesini, perilaku Tante Ve seperti kembali kesedia kala. Dalam keseharian-menurut cerita warga- ada saja ulahnya yang menyakiti perasaan tetangganya. Mulai ngebut dengan mobilnya di jalanan kompleks yang hanya beberapa ratus meter dan kadang dibuat tempat anak anak bermain, bersuara keras dan melontarkan umpatan yang tidak sepantasnya, manakala bertengkar dengan anak lelakinya yang beranjak remaja, hingga menegur siapa saja yang mencoba memanfaatkan jalan [yang nota bene jalan kompleks] di depan rumahnya untuk kepentingan apapun.

Secara langsung, memang kami tidak pernah bersentuhan dengan Tante Ve sehingga tidak pernah memiliki ‘masalah’. Hanya sekali dua saat ‘city car’ nya akan melintas saat mobil kami menunggu pintu gerbang dibuka, beliau membunyikan klakson seolah tak sabar menunggu untuk lewat. Padahal badan jalan yang tersisa, masih cukup untuk dilalui ‘city car’nya.

Dalam pertemuan, Minggu malam, berdasar cerita tetangga yang rerata sudah sepuh [mayoritas tetanggaku adalah pensiunan], hal hal seperti urusan mobil ini sudah sampai taraf mengesalkan. Bahkan menurut orang-orang tua itu, sikap Tante Ve seperti membuka permusuhan. Untuk itulah pertemuan diadakan. Warga dengan difasilitasi ketua RT, ingin memperbaiki jalinan silaturahmi dengan Tante Ve. Tante Ve diundang, warga satu RT, utamanya yang tinggal di satu jalan juga diundang. Tujuannya hanya satu. Saling memperbaiki apabila satu sama lain ada kesalahan.

Namun apa daya. Tante Ve tak bisa hadir dalam pertemuan. Akhhirnya warga sepakat untuk mengirim saja hasil pertemuan secara tertulis kepada Tante Ve. Bahkan, kesannya seperti mengancam Tante Ve. Karena warga yang [sekali lagi] sudah sepuh itu sepertinya sudah dipuncak kemarahan.

Malam ini, aku menerima surat yang dilayangkan warga. Entah bagaimana Tante Ve menyikapi surat warga tersebut. Apakah akan tetap pada pendiriannya, atau menyadari kekeliruannya selama ini.

Dipos di Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *