Pemilihan anggota legislatif sudah usai. Hitung cepat sebagai metode untuk mengetahui pemenang, sudah dilakukan. Partai yang memperoleh suara terbanyak sudah terlihat. Hampir semua partai peserta pemilu tidak mendapat suara sebagaimana diprediksi. Banyak yang meradang. Banyak yang kecewa. Ada yang jumawa. Tak ketinggalan, ada yang tetap memperolok peroleh suara terbanyak. Lengkap dengan editan ala photoshop. #eehhh
Yang tidak memperoleh cukup suara untuk menduduki kursi empuk parlemen mulai meradang. Ada yang melakukan tindakan aneh. Sebagaimana diwartakan oleh media. Ada juga yang legawa. Bahkan calon petahana, ada beberapa yang tidak lolos. Konon katanya akibat rakyat menghukum mereka. Ya begitulah. Mungkin bukti rakyat semakin kritis atas kinerja mereka. Kalau memang slama ini tidak bekerja, buat apa dipilih lagi? Kasih keaempatana pada yang baru, begitu alasan sebagian pemilih selain mereka.
Setidaknya ada dua ‘pesohor’ yang secara terbuka mengemukakan kekecewaannya. Demokrasi mahal katanya. Pemilu curang, ujarnya. Bahkan ada yang lantang berkata, ‘Negara ini sudah hancur’. Entah apa maunya. Padahal partainya adalah partai yang dulu melakukan kecurangan sama. Ya begitulah. Kalau kalah, semua bersalah. Kalau menang, mungkin hanya dia dan keluarganya yang bekerja dan senang. Biarkan saja.
Aku sendiri berpendapat, sama sebenarnya. Pelan pelan negara ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan asing. Atau kapitalisme, liberal dan entah apalah istilahnya. Yang disebutkan oleh mereka yang mencoba mencari muka, seolah melawan siapa saja yang berkuasa. Seolah hanya mereka yang paling benar saja. Terlepas dari dia paham atau enggak akan apa yang diucapkannya.
Menurutku, penghancuran dilakukan oleh mereka yang duduk di partai politik. Atas alasan kuasa semata. Berdalih demi kepentingan rakyat mereka mempreteli dasar negara. Beralasan bahwa mereka lebih mengerti kemauan rakyat, kuasa yang harusnya di tangan rakyat, diambil oleh mereka. Rakyat dipersilahkan menjadi penonton saja. Hanya dibutuhkan ketika pemilu saja. Setelah itu, partai yang berkuasa. Atas nama rakyat Indonesia, tapi entah yang di sebelah mana.
Partai politik mempersilahkan siapa saja mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Beberapa kasus, konon dengan modal yang tak sedikit. Mahar politik katanya. Tanpa seleksi yang cukup apakah sang calon memiliki kompetensi yang dibutuhkan menjadi anggota legislatif. Yang dibutuhkan hanyalahnketenaran semata. Mulailah mereka bermanis muka. Bahkan sebelum masanya. Peraturan yang ada mensyaratkan bahwa kampanye ada waktunya. Namun yang ada, tak cukup lama sebelum pemilu, mereka memampangkan muka. Di berbagai sudut kota dan desa. Berharap para pemilih tak akan lupa, ketika saat pencoblosan tiba.
Namun usaha beberapa diantara mereka sia sia. Tetap saja rakyat pemilih tak ingat mereka. Mungkin banyak rakyat yang memilih, hanya ingat siapa memberi apa atau senilai berapa. Selebih ya lupakan saja. Yang menyedihkan, pemilihan umum langsung model begini sudah berlangsung setidaknya tiga kali. Semakin kesini, partai peserta pemilu semakin sedikit sebenarnya. Namun tetap saja, rakyat tidak pernah diajari oleh mereka. Sayang sebenarnya. Mereka berkicau miring setelah mereka kalah.
Paulo Coelho‘s tale is a brief (163
pages) and also simple one, a motivational parable regarding the importance of seeking one’s desires.
Originally released in 1988 in the Brazillian author’s indigenous
Portugese, it has actually given that been translated in near to 70 languages as well
as has actually come to be one of the best-selling books in history.
The Alchemist is a quick as well as delightful pointer for any individual which feels they ually ended up being sidetracked from pursuing their own Personal Legend.