Mereka yang mengikuti berita pasar modal satu semester terakhir, tentu kenal perusahaan yang bernama PT Bumi Resources Tbk. [BUMI]. Perusahaan milik keluarga Bakrie, taipan papan atas negeri ini. Kebetulan pula, salah satu pemiliknya menjadi menteri di kabinet Indonesia Bersatu yang sedang memerintah. Kepemilikan pada BUMI sempat membuat keluarga tersebut dinobatkan menjadi keluarga terkaya di Indonesia, versi sebuah majalah ekonomi.
Sebagai sebuah perusahaan, BUMI adalah fenomena. Betapa tidak, dari sebuah perusahaan kecil pemilik hotel, BUMI berubah menjadi salah satu pemilik tambang batubara terbesar di Indonesia. Dari perusahaan yang sahamnya dihargai puluhan Rupiah saja, menjadi perusahaan yang satu sahamnya dihargai delapan ribu Rupiah.
Fenomena tersebut membuat BUMI diminati oleh banyak investor. Banyak yang ingin ememilikinya. Begitu banyaknya, hingga saham ini sempat diberi julukan ‘saham sejuta umat’. Hingga ada yang bilang, tidak ada investor pasar modal yang tidak memiliki BUMI.
Namun fenomena itu mulai rontok sekitar satu semester terakhir. Dari delapan ribu rupiah, kini saham BUMI dihargai ratusan rupiah. Kejatuhan harganya mencengangkan banyak pihak, sebagaimana juga kenaikan harga pasca BUMI mengakuisisi dua perusahaan tambang pemilik lahan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Banyak investor dirugikan. Nilai kekayaan mereka merosot tajam.
Ditengarai semuanya berawal dari sikap manajemen BUMI yang kerap merancang dan melakukan aksi korporasi yang dianggap oleh pemegang saham sebagai ‘aksi aneh’. Aksi yang cenderung tidak mempertimbangkan kepentingan investor publik. Dan hal tersebut terjadi, bukan sekali dua. Investor pemegang saham BUMI memberi ‘hukuman’ dengan melakukan aksi jual saham tersebut di pasar. Tekanan jual ini semakin membuat harga BUMI terus menurun.
Seminggu terakhir, investor justru sudah memikirkan bentuk ‘hukuman’ lain kepada manajemen BUMI. Investor beramai ramai menggalang kekuatan. Mereka membentuk konsorsium yang disebut Kumpulan Investor Publik Saham BUMI [KIPS BUMI]. Tujuan konsorsium, salah satunya, memiliki cukup suara untuk melakukan ‘sesuatu’ pada Rapat Umum Pemegang Saham [RUPS]. Mereka berniat bisa mendudukkan perwakilannya pada jajaran manajemen BUMI. Agar rencana aksi korporasi manajemen bisa lebih dikontrol.
Kebetulan manajemen BUMI berencana untuk melakukan RUPS pada bulan Februari. Entah ada hubungan atau tidak, dua hari lalu RUPS tersebut dibatalkan. Seandainya pembatalan RUPS tersebut berhubungan dengan KIPS BUMI, terlihat bagaimana ‘kekuatan massa’ berhasil membuat manajemen BUMI menghitung ulang langkah yang akan dilakukannya. Setidaknya, dengan begini [sekali lagi, bila pembatalan RUPS tersebut berhubungan dengan KIPS BUMI], investor yang merupakan pemangku kepentingan [stake holder] atas BUMI telah berhasil.
Aku terpikir, seandainya apa yang dilakukan oleh KIPS BUMI, dilakukan oleh stake holder negeri pada ‘RUPS’ lima tahunan negeri bernama Republik Indonesia. Karena sejatinya posisi investor sebagai pemegang saham, sama saja dengan posisi rakyat dalam sebuah negara. Setiap kali ‘RUPS’, pemegang saham memberi kepercayaan pada manajemen untuk lima tahun berikutnya. Kalau dalam lima tahun terakhir manajemen menjalankan perusahaan dengan bagus, dia layak diberi kepercayaan kembali. Kalau tidak, dicarilah manajemen baru mengganti.
Namun, alih alih ‘menerima dividen’, modal yang disetor oleh pemegang saham [dalam bentuk pajak, gamblangnya] malah digunakan oleh manajemen untuk kepentingan pribadi. Hampir setiap hari ada berita tentang manajer negara yang berhubungan dengan Komisi Pemberantas Korupsi. Pemegang saham dilupakan. Padahal pemegang saham sedang menghadapi banjir atau bencana alam lain, langkanya bahan bakar minyak atau tingginya harga bahan pokok.
Namun sepertinya, impianku tidak serta merta terwujud. Sebab, meski sama sama diatur oleh Undang Undang, hak suara dan kewajiban manajemen Perseroan Terbatas diatur dalam satu Undang Undang yang sama. Sementara hak pemegang saham serta kewajiban manajemen dalam konteks bernegara diatur dalam Undang Undang yang lebih rumit. Dan susahnya, Undang Undang itu dibuat oleh manajemen yang dipilih, yang hampir pasti mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya. Meski tetap, agar terkesan mulia, dilabeli dengan atas nama rakyat.
It’s awesome to go to see this website and reading the views of all friends regarding this article,
while I am also zealous of getting experience.
Andaikata, diantara pilihan yang ada tidak ada yang pas atau cocok atau pantas untuk dipilih….kira-kira akan milih apa?
Tidak memilih juga pilihan ;-)
Manthab…!!
BUMI telah [kembali] mengelola sebuah hotel bintag lima di jantung kota Surabaya. Banyak rekan-rekanku ada di sana, Guntur Tampubolon, Bondan Prasetyo, Gunawan, Mustofa. dll.
Tersebutkan BUMI jadi terpikirkan mereka.
Berani MEMILIH, dan tidak GOLPUT..!!
Tetap optimis sobat.
Mari kita sukseskan Pemilu 2009. Jangan GOLPUT, karena jika kita GOLPUT, pemenang Pemilu TETAP BERKUASA.
Cheers, frizzy2008.