Seorang teman pernah memberi masukan bahwa satu hal yang perlu diubah dariku adalah aku sedikit kaku. Kalau dipikir ada benarnya. Bekerja di regulator (mungkin) membuatku terbawa suasana. Entahlah.
Sepanjang yang aku ingat kekakuan itu tertanam sejak dini. Yang masih lekat dalam ingatan adalah soal berpakaian. Puluhan tahun lalu ketika mulai kuliah, kami mahasiswa baru diingatkan oleh dosen agar berpakaian rapi. Peringatan itu dilakukan ketika masa ordik (orientasi pendidikan). Semacam masa ospek atau MOS kalau jaman sekarang. Disebutkan berpakaian rapi itu adalah berkemeja dan bercelana bahan (untuk membedakan dengan celana denim dan sejenisnya). Sepanjang lima tahun di kampus (sampai saat terakhir ketika mengurus ijazah ketika telah lulus meja hijau) aku tetap pada ketentuan ini. Lupa apakah hal tersebut tertulis pada buku peraturan atau tata tertib berkuliah, namun aku ikut aturan itu. Bahkan saat akhir perkuliahaan ketika teman teman seangkatan telah mulai menggunakan denim dan kaos (baik dengan kerah atau oblong) ke kampus.
Entah ketika itu teman teman berpendapat apa. Yang aku ingat ada satu teman yang akhirnya mendapat julukan ‘si camat’ karena ternyata berperilaku ‘lebih rapi’ lagi dari aku. Teman ini tidak pernah menggulung lengan panjang kemejanya (aku masih menggulung) bersepatu pantofel mengkilap dan buku selalu ditenteng (tak pernah menenteng tas atau ransel). Sementara aku bersepatu kets saja dan selalu menenteng ransel ke kampus.
Padahal aku juga ingat waktu itu ada dosen yang dengan santainya mengenakan denim ketika mengajar. Memelihara kuncir yang dibiarkan tergerai, terlihat ketika beliau menulis di papan dan membelakangi kami mahasiswanya. Merokok di ruang kelas (saat itu soal merokok memang belum seperti sekarang. Selain itu struktur gedung kami yang unik juga tidak memerlukan pendingin ruangan sehingga dimungkinkan untuk merokok di kelas). Waktu itu aku mencoba memahami latar belakang pendidikan sang dosen yang katanya baru kembali dari Amerika menyelesaikan program doktornya. Terbiasa lebih bebas di negara Amerika yang liberal membuatku seperti memaklumi penampilan pak dosen.
Kebiasaan sama terbawa ketika berkebaktian di gereja. Aku selalu berpegangan bahwa ke gereja adalah berkunjung ke rumah Tuhan. Karena demikian agama mengajarkan sejak masih Sekolah Minggu. Yang aku ingat, doktrin yang aku dapat, berkunjung ke rumah Tuhan sudah pasti harus sopan. Lha wong bertamu ke rumah orang saja kita harus sopan? Masa bertamu menggunakan celana pendek? Bertamu artinya kita menghargai yang kita kunjungi. Berpakaian rapi ketika berkunjung ke rumah Tuhan merupakan hal yang wajib dijalankan. Aku juga ingat ketika itu aku juga tidak pernah mengunyah permen ketika sedang berkebaktian. Alasannya sederhana, kebaktian adalah proses berkomunikasi dengan Tuhan. Bagaimana kita misalnya berkomunikasi (berbicara) dengan seseorang yang lebih tua (sebagai contoh ekstrim) sambil mengunyah sesuatu?
Dengan latar belakang seperti itu perilakuku terbawa ke dunia kerja. Meski dengan sedikit modifikasi. Awal kerja masih menggunakan dasi. Tiga tahun bekerja aku mulai malas menggunakan dasi dalam bekerja (meski peraturan masih mengharuskan menggunakannya). Aku juga selalu mengenakan kemeja lengan panjang yang lengannya selalu digulung. Bukan apa apa sedikit mengganggu buatku dalam bekerja dengan lengan kemeja tidak digulung. Kebiasaan menggulung lengan kemeja ini terbawa juga bahkan ketika mengenakan batik lengan panjang 😔.
Bahkan ketika mengenakan denim ke kantor sudah diperbolehkan, hanya sekali aku melakukannya. Itu juga sebagai bentuk ‘protes’ karena sepertinya berpakaian pantas sudah mulai tidak dipedulikan lagi. Bercelana denim dan berkaos polo aku lakukan bahkan ketika aturan mengenai diijinkannya penggunaan denim diberlakukan. Justru setelah pengenaan denim ketika hari Jumat diberlakukan, aku tidak pernah mengambil kesempatan itu. Karena kembali sebagaimana dua contoh pada masa lalu, menurutku aku harus menghargai lembaga tempatku bekerja. Menghargai tamu yang mungkin akan kami temui ketika bekerja.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya aku terbiasa ‘gatal mata’ dan ‘gatal bicara’ untuk kemudian berkomentar. Beberapa kali kepada teman satu tim yang kepadaku diserahi beban untuk menjadi penyelia, aku akan menegur untuk mengingatkan. Aku juga pernah ditegur oleh atasan karena ketika melakukan pertemuan dengan pihak luar mengenakan jaket yang terbuat dari bahan denim. Saat itu aku merasa aku dan atasan berada di jalur yang sama. Bahwa ada yang tetap harus dijaga soal berpakaian.
Pagi ini aku menemukan kejadian yang membuat aku berkomentar. Seorang pekerja wanita menggunakan celana panjang 7/8 ( begitu kurang lebih istilahnya). Sesuatu yang sebenarnya berdasarkan aturan diperbolehkan, namun hanya di hari Jumat sebagaimana penggunaan denim. Masalahnya adalah ini hari Senin. Mengenakan pakaian kasual (begitu istilahnya) diharamkan pada hari Senin. Melempar isu ini di group diskusi, sepertinya aku sendiri. Teman lain tidak melihat itu sebagai masalah. Mungkin memang aku terlalu kaku. Mungkin memang ada yang aneh dalam prinsip yang aku anut. Entahlah ☺ï¸