Berdasarkan hukum kekerabatan adat Batak, aku menyapanya Nantulang. Berarti kurang lebih istri dari Tulang. Tulang adalah sapaan untuk saudara lelaki ibuku. Kebetulan nantulang ini adalah istri dari Tulang paling besar. Abang dari mama. Anak ompung paling besar. Kami menyebutnya Tulang Banggas. Anak anakku menyapanya Ompung Dokter. Kebetulan beliau seorang dokter dan bertugas sebagai dokter di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan pengajar bahkan sempat menjadi Pembantu Dekan di Fakultas Kedokteran UKI
Usia Nantulang tidak terpaut jauh dari ibuku. Usia Tulang pun tak terpaut jauh dari usia almarhum Bapak. Sama seperti almarhum Bapak, Nantulang menjadi karyawan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. hanya beda penugasan saja. Bapak bertugas di Wilayah 01 yang meliputi wilayah Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Aceh. Sementara Nantulang menghabiskan sebagian besar karirnya di Jakarta. Entah di Kantor Besar (demikian istilahnya untuk kantor pusat) atau di kantor cabang wilayah 10 yang meliputi Jabodetabek.
Tulang dan Nantulang termasuk yang sering mengunjungi kami di Medan waktu itu. Karena Ompung (orangtua mama) banyak tinggal di rumah kami di Medan atau Kabanjahe (sebelum kami pindah ke Medan). Intensitas pertemuan yang sering, membuat hubungan lebih akrab. Aku menyebutnya demikian karena aku merasa ada yang berbeda antara hubunganku dengan Tulang ini jika dibandingkan dengan hubunganku (dan keluargaku) dengan keluarga lain. Apalagi Nantulang dan Bapak belerja pada institusi yang sama. Ditambah beberapa kesamaan soal kesenangan mereka. Tanggal lahirnya pun hanya selisih satu hari. Bapak 12 Agustus, Nantulang 13 Agustus.
Di rumah Tulang di Jatikramat Bekasi pula aku tinggal ketika akhirnya memutuskan tinggal di pulau Jawa. Setelah sebelumnya tinggal di kediaman keluarga dari Bapak di Duren Sawit Jakarta Timur. Kedekatan hubungan dan ketersediaan satu kamar kosong di rumah Tulang menjadi alasan kuat. Sampai sebelum bekerja aku suka diberi uang saku. Untuk sekedar biaya fotocopy lamaran atau ongkos mengirim lamaran. Sambil menunggu panggilan dari lamaran yang aku kirim ke berbagai perusahaan yang ada di Jakarta, aku sering mendapat tugas mengantar Tulang atau Nantulang. Itung itung belajar mengetahui jalanan di Jabodetabek. Selain dari yang aku pelajari lewat menumpang bis ke berbagai penjuru.
Nantulang lah yang mengunformasikan kepadaku adanya lowongan di perusahaan tempatku bekerja sekarang. Informasi yang dia dapatkan dari HRD karena kebetulan pembayaran gaji perusahaan melalui BNI. Menurut Nantulang, beliau termasuk yang mendorong agar kantor cabang Semanggi yang awalnya berlokasi di gedung Veteran (sekarang Plaza Semanggi) pindah ke gedung Bursa Efek Jakarta (namanya waktu itu).
Setelah melewati serangkaian test (terakhir test TOEFL di LPPM daerah Tugu Tani, yang untuk mencapainya pun aku diantar oleh Tulang) akupun diterima bekerja di PT Bursa Efek Jakarta. Tinggal serumah dan bekerja di satu gedung yang sama membuat perjalanan ke kantor tidak mengalami kendala. Setiap hari aku ikut mobil Nantulang. Lumayan menghemat ongkos. Selain itu Nantulang tidak perlu ribet mencari joki three in one 😀. Dalam perjalanan Nantulang punya teman ngobrol. Kami membicarakan apa saja. Mulai dari kondisi pekerjaan, atau sekadar berita televisi.
Namun tidak berlangsung lama. Jalanan yang semakin macet, waktu kerja Nantulang yang lebih fleksibel dari jam kerjaku membuat aku harus mencari moda transportasi cadangan. Akhirnya akupun mulai menumpang omprengan yang ngetem di seputar pintu tol Jatibening. Untuk sore hari pun demikian. Kadang kalau Nantulang harus menghadiri meeting di luar kantor aku pulang sendiri. Menumpang bis hingga Cawang seberang UKI. Untuk kemudian menumpang angkot 461 ke rumah. Sering juga nongkrong seperlunya di warung warung depan UKI atau berbelanja apa saja di emperannya.
Ketika Nantulang berkenalan dengan golf, akupun sering diminta untuk mengantar ke lapangan pada hari Sabtu atau Minggu pagi. Atau sekadar mengantar ke daerah tertentu karena beliau berjanji dan menumpang mobil temannya. Beberapa kali aku nyasar ketika setelah mengantar aku harus pulang sendiri 😀. Namun aku anggap semuanya sebagai bagian mengenal jalanan ibukota. Selain Nantulang, Sabtu pagi aku kerap mengantar dua sepupuku ke sekolah. Atau ke acara dengan teman temannya.
Meskipun dalam hubungan kekerabatan, Tulang berada di posisi paling atas (Hula Hula dalam konsep Dalihan Na Tolu) aku dan adik adik dianggap sebagai anak sendiri. Hubungan yang dibangun tidak berjarak. Tulang dan Nantulang pulalah yang menemani keluarga kami ketika Bapak ‘pergi’. Saat keluarga lain hadir seperti tamu 😔. Hubungan yang dipertahankan hingga sekarang. Hubungan yang aku ajarkan juga kepada dua anakku. Sekarang Gabriel tidak akan sungkan untuk langsung masuk kamar tidur Tulang dan Nantulang, untuk sekadar ngadem karena ada pendingin ruangan, ketika kami berkunjung. Sering terdengar Tulang menyebut anak kita, menyebut diriku ketika berbicara dengan Nantulang. Bahkan aku ingat sekali pernah menyebut ‘mantu kita’. Aku dengar dari lantai atas. Karena kamarku terletak di lantai dua. Nantulang juga yang ‘memerintahkan’ aku untuk membawa mobil sedannya saja ketika aku meminta ijin menggunakan Kijang Tulang untuk bertamu pertama kali ke rumah calon mertua di Kebon Jeruk ☺ï¸.
Mantu (menantu) kita merujuk pada posisiku yang adalah bere (anak laki laki dari saudara perempuan) Tulang. Karena berdasarkan hukum kekerabatan Batak, putri dari Tulang (yang aku sapa pariban) adalah wanita dengan prioritas tertinggi yang bisa aku nikahi. Kebiasaan yang semakin hari sudah ditinggalkan. Selain karena bukan lagi masa Siti Nurbaya, konon karena katanya bisa menyangkut incest ☺ï¸. Mengingat hubungan demikianlah, mengakibatkan adanya kebiasaan untuk ‘permisi’ kepada Tulang ketika seorang lelaki Batak akan menikah. Prosesi yang ketika kami utarakan kepada Tulang, kami disuruh untuk melakukannya kepada Tulang yang paling kecil. Adiknya (plus adik lelaki ibuku) yang bertempat tinggal di Medan. Selain karena menurutku Tulang ini sudah menganggapku anak, beliau juga tidak terlalu suka dengan ‘keribetan’ adat Batak.
Hubungan kami, aku Nantulang dan keluargaku atau keluarga dari pihak mama tidaklah selalu berjalan mulus. Aku mengerti bahwa hubungan ipar keluarga manapun ada pasang surutnya. Hal yang lumrah. Lama tinggal dengan mereka (kurang lebih lima tahun sebelum akhirnya menikah dan pindah) sedikit banyak aku memahami sifat mereka berdua. Tidak banyak neko neko. Lempeng lempeng saja kalau kata orang Betawi. Kadang kalau menemani belanja ke ITC Mangga Dua, Nantulang belanja dengan cepat saja. Manakala keluarga lain masih memerlukan waktu untuk sekadar window shopping atau sekadar membandingkan harga antara dua toko bersebelahan, Nantulang tidak terlalu suka. Akhirnya aku akan menemani duduk di suatu tempat ketika keluarga lain masih asyik dengan window shopping ðŸ˜.
Itulah kenapa aku menggunakan caption “berfoto bersama mertua” untuk foto selfie kami berdua (aku dan Nantulang) ketika beliau bersama teman temannya sesama pensiunan Bank BNI ada acara di gedung Bursa. Begitu mengetahui beliau ada acara di gedung sama aku berusaha menemui. Ketika acara mereka selesai aku temani. Aku merasakan bagaimana bangganya Nantulang mengenalkanku kepada teman temannya. Sebangga beliau mengenalkan anaknya sendiri. Sesenang beliau ketika aku kabarkan bahwa bere yang dahulu dikenalkan ke perusahaan tempatku bekarja sekarang memeroleh promosi.
Sehat terus ya Tulang dan Nantulang ♥ï¸