Duduk di belakang sebagai ‘kasta paling rendah’ omprengan secara tidak langsung mengajarkan atau mempertontonkan seberapa toleran seseorang.
Ketika kendaraan mulai berjalan semua penumpang mulai merogoh saku, dompet atau tas masing masing. Untuk mengambil ongkos. Penumpang depan akan langsung memyerahkan kepada supir. Penumpang tengah dan belakang akan mengumpulkan uang, menyatukannya untuk kemudian menyerahkan ke depan, kepada supir.
Dari sini pertunjukan sikap itu sudah dimulai. Siapa yang akan dengan sukarela menjadi pengutip untuk kemudian menyerahkan ke supir dan menyerahkan kembalian kepada yang lain? Selama ini selalu ada yang dengan sukarela melakukannya. Biasanya adalah dia yang uangnya paling besar (lima puluh atau seratus ribu misalnya). Proses itu sepertinya alami saja. Karena dia butuh uang kecil milik penumpang lain sebagai kembalian uangnya. Proses pemilihan pengumpul selesai. Setelah itu dia akan mengatur pengembalian penumpang lain (jika ada). Untuk bagian belakang sebagai contoh, dia akan mengembalikan lima ribu jika ada yang menyerahkan dua puluh ribu. Atau tiga puluh lima ribu jika ada yang menyerahkan lima puluh ribu. Demikian seterusnya.
Jika semua telah terkumpul dan uang yang terkumpul lebih banyak dari yang seharusnya, dia akan menggeser ke depan uang tadi sambil menyebut kembalian yang dibutuhkan warga belakang beserta nominal yang dibutuhkan. Kembali sepuluh ribu, kembali enam puluh ribu receh (karena uang yang disetor ke depan terdiri dari tiga lima puluh ribuan). Si pengumpul biasanya mendahulukan kembalian penumpang lain daripada kembalian buat dirinya sendiri.
Biasanya lagi, sang pengumpul akan menunggu kembalian dari depan setelah supir menyerahkan. Entah karena memang supir menyediakan uang kecil atau setelah ‘menukar’ di dua pintu tol yang dilalui. Barulah sang pengumpul bisa tenang melanjutkan aktivitasnya seperti tidur, mendengar musik, membaca dan seterusnya. Sementara penumpang lain yang uangnya sudah kembali kadang sudah asyik sendiri bahkan mungkin sudah tidur.
Pagi ini tergelitik dengan kelakuan penumpang sebelah kiriku. Dia mengantongi kembalian uangnya terlebih dahulu baru kemudian menyerahkan seratus lima puluh ribu ke depan. “Kembali enam puluh” katanya untuk kemudian asyik dengan gawainya. Sepertinya mengabaikan enam puluh ribu kembalian milik penumpang lain. Entah karena merasa aneh dengan sikap si bapak pengumpul atau karena memang tulus, bapak yang duduk di depan pengumpul mengucap terima kasih kepada bapak pengumpul di sebelahku, bukan kepada ibu depan yang menyerahkan kembalian. Aku membacanya semacam sindiran.
Selain contoh di atas yang aku saksikan pagi ini, pernah juga seorang wanita yang terlihat dari bahasa tubuhnya sangat enggan mengambil peran sebagai pengumpul. Uang seratus ribu miliknya seolah dilepas dan justru disorongkan kepada penumpang lain yang terlebih dahulu menyerahkan lima belas ribu padanya. Akhirnya teori bahwa pemilik uang pecahan terbesar secata otomatis akan dipatahkan. Si mbak pemilik uang seratus ribu tadi, dengan santai akan melanjutkan aktivitasnya. Bukan merias wajah padahal. Kegiatan yang menurutku membuatnya menolak peran sebagai pengumpul. Dia memasang alat bantu dengar dan mengalunlah musik indah dari gawainya ☺ï¸
Minggu lalu sekali aku mendapat tugas sebagai pengumpul. Berlima diantara penumpang belakang kami telah mengumpulkan uang. Aku sudah mengembalikan semua kembalian yang seharusnya. Sudah menyerahkan ke depan. Selang beberapa saat seorang ibu dengan gelagapan menyerahkan uang. Aku hanya menjawab, “Langsung ke depan saja bu. Kami sudah” diapun menyerahkan uang seratus ribu ke depan. Kami yang telah selesai dengan kembalian, asyik dengan kegiatan masing masing. Beliau masih menunggu kembalian di pintu tol Halim.
Kenapa sebagai pengumpul aku mengabaikan si ibu? Semata ingin memberi pelajaran. Dalam proses yang cukup waktu (sejak omprengan bergerak hingga hampir mencapai gerbang tol Jatibening) si ibu dengan asyiknya tetap bermain dengan gawainya. Ketika dalam ruang belakang mobil yang tidak sampai dua meter persegi itu sedang melakukan kegiatan mengumpul uang dia tidak peduli. Memang aku sengaja tidak menagih padanya. Aku kan pegawai Bursa!! Bukan kernet yang menagih ongkosnya 😀
Yang juga menarik dan harus disaksikan sendiri (hanya realita ditambah imajinasiku semata ☺ï¸) adalah proses awal ketika omprengan mulai berjalan. Berenam kami di belakang akan saling mengintai. Uang siapa yang paling besar pecahannya. Untuk kemudian kepadanyalah kami serahkan beban sebagai pengumpul.