terpikir batik dan koteka

Awalnya adalah ‘berita’ yang beredar kurang lebih sebulan terakhir. Konon katanya, UNESCO, badan PBB yang mengurusi budaya, akan menetapkan batik sebagai budaya milik Indonesia. Seperti biasa, pesan ini beredar luas. Melalui sms, email, status facebook, BlackBerry, dan yang lain.

Beberapa kantor perlu mengeluarkan perintah khusus untuk mengantisipasi. Bahkan beberapa Pemerintah Daerah. Jadilah hari ini, setidaknya yang terlihat di Jakarta, warga menggunakan batik. Selama perjalanan menuju kantor, aku melihat mereka yang menunggu kendaraan di halte, mereka yang berada di mobil, atau mereka yang bekerja di gedung gedung perkantoran, menggunakan batik.

Sebenarnya, ga terlalu kaget melihatnya, karena akhir akhir ini, pekerja di Jakarta memang sedang gandrung mengenakan busana batik. Wanitanya terutama. Meski kadang modelnya setali tiga uang, alias seragam. Yang membedakan hanya corak dan warna. Yang membuat luar biasa, mungkin adlah semangatnya. Entah sadar atau tidak, semangat mengenakan batik hari ini berbeda. Karena, memang sudah menjadi semacam tradisi bahwa setiap Jumat, batik dikenakan. Namun, adanya pesan diatas, mungkin membuat pemakai batik merasa lebih percaya diri.

Aku sendiri, dua hari lalu mencoba mencaritau, bagaimana sebenarnya isi keputusan UNESCO soal batik ini. Mencari di situs resminya, aku tidak melihat adanya rilis atau keputusan resmi. Sampai saat mendengarkan radio dalam perjalanan ke kantor tadi pagi. Penyiar menyampaikan isi surat yang katanya dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang pada intinya, berharap bahwa sidang mengenai Budaya Warisan Dunia, yang diadakan pada tanggal 2 Oktober hari ini, menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Dunia sebagai milik Indonesia.

NAH LO? Jadi ternyata belum ditetapkan? Masih ada kemungkinan kalau batik itu bukan ‘milik’ Indonesia. Agak aneh juga. Sementara mulai dari Presiden hingga pekerja sudah menggunakan batik hari ini.

Mungkin memang tidak ada masalah. Karena ada atau tidak ‘pengakuan’ dari UNESCO, batik sejak dahulu sudah dikenal sebagai budaya Indonesia. Bahkan pada KTT pemimpin APEC yang pernah diselenggarakan di Bogor, para pemimpin negara yang menjadi anggota APEC mengenakan batik pada saat konfrensi pers mengumumkan kesepakatan para pemimpin. Dan sudah seperti menjadi tradisi di APEC, pada ‘puncak acara’ tersebut, para pemimpin mengenakan pakaian khas negara penyelenggara. Ini terjadi di negara lain. Ketika di Filipina, para pemimpin mengenakan Barong, kemeja putih khas dengan bordiran. Ada saatnya juga kita bangga memiliki batik, saat Presiden Nelson Mandela rajin mengenakan batik dalam berbagai acara kenegaraannya.

Lantas kenapa kita harus khawatir dan takut, saat Malaysia mencoba mengklaim batik sebagai budaya mereka? Bukankah nenek moyang kita dan mereka sama? Beberapa daerah di Indonesia dan Malaysia memiliki budaya yang hampir mirip. Minangkabau di Sumatera dan Negeri Sembilan di Malaysia, misalnya.

Menurutku, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini masih sama. Sesuatu yang dimiliki, tidak dirawat bahkan diindahkan. Kita baru tersadar saat orang lain mengakuinya sebagai pemiliknya. Dengan Malaysia, kita punya masalah sama saat sengketa Sipadan dan Ligitan.

Sudah saatnya kita merubah kebiasaan itu, daripada berlatah ria seperti hari ini. Entah berhubungan atau tidak, hari ini beredar lagi kabar sama bahwa UNESCO segera menetapkan KOTEKA sebagai budaya Indonesia. Dan dharapkan kita bersama sama menggunakan koteka minggu depan. Sebuah ironi yang memiriskan hati di negara bernama Indonesia.

Dipos di Tak Berkategori
Satu Komentar Tambahkan milikmu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *