terpikir apa adanya diri sendiri

Satu selasa malam, linimasa ramai tentang ulah dua orang pengacara yang kebetulan berasal dari Tapanuli. Ruhut ‘Poltak’ Sitompul dan Hotman Paris Hutapea. Ya, seperti pada Selasa malam sebelumnya, keduanya diundang oleh Karni Ilyas hadir dalam acara Indonesia Lawyers Club. Sebuah Talk Show, yang mengupas soal terkini yang sedang menjadi berita.

Entah untuk yang berapa kali, malam itu kembali membincangkan soal dugaan korupsi yang melanda petinggi partai pemenang pemilu terakhir. Ruhut mewakili partai, sementara Hotman mewakili seorang (mantan) pejabat partai itu yang sedang disidang. Seperti biasa juga, keduanya terlibat dalam adu mulut. Mungkin memang keduanya sudah dianggap memiliki daya tarik sendiri untuk acara seperti itu. Sehingga kerap diundang, apalagi kalau menyangkut kasus mantan petinggi partai itu.

Latar belakang keduanya yang berasal dari Tapanuli, membuat adu mulut mereka berdua ‘menarik’ untuk disimak. Apalagi keduanya berbicara dengan logat yang khas Tapanuli. Seperti anak-anak, keduanya bahkan saling meledek satu sama lain. Sering pembicara lain mengedepankan semangat. Mengkritik kemana mana. Ada beberapa hal yang bisa diambil sebagai pelajaran memang. Namun buatku, keseluruhan acaranya hanya sebagai sebuah tayangan televisi, buatku sekadar hiburan.

Yang menarik adalah, adu mulut keduanya dikomentari dengan beragam oleh penonton. Dari yang terlihat dalam jejaring sosialku, beberapa teman yang kebetulan berasal dari daerah yang sama denganku dan kedua pengacara itu, sepertinya merasa malu. Bahkan mereka menganggap bahwa keduanya mempertontonkan hal yang tidak selayaknya. Membuat malu daerah asal, begitu kurang lebih alasannya.

Saat hampir bersamaan, seorang teman dalam jejaring sosialku, menulis notes di akun facebooknya yang menyatakan kegundahannya. Sang teman bahkan sampai mengemukakan bahwa tekanan darahnya meningkat. Penyebabnya semata karena menurut sang teman, dia membaca komentar seorang wanita yang menyatakan bahwa wajah orang yang berasal dari Tapanuli, atau suku Batak,’marsuhi-suhi’. Persegi. sebuah istilah yang mungkin sudah melekat dalam kehidupan orang Batak. Artinya, istilah itu bukan baru. Minimal buatku. Sering sudah mendengarnya. Bahkan diucapkan oleh sesama orang Batak.

Membaca status sang teman, teman teman dalam jejaringnya merespon beragam. Ada yang bercanda ada yang serius. Bahkan aku membaca, ada ketersingungan, bukan hanya pada sang teman sang penulis status. Juga pada teman-temannya yang kebetulan juga berasal dari daerah yang sama.

Melihat dua situasi mirip, aku merasa heran. Membuatku berpikir. Sebenarnya tidak ada hal baru dari keduanya. Sudah sejak lama, orang Batak dikenal bicara apa adanya. Blak blakan. Sudah sejak lama juga kedua pengacara itu bertingkah seperti sesukanya. Bahkan, mungkin karena profesi keduanya sudah dianggap sebagai selebrita, acap keduanya diliput oleh beragam tayangan soal selebrita. Tidak ada yang baru. demikian juga komentar yang diperoleh sang teman di jejaring sosial, soal bentuk wajah yang persegi.

Buatku pribadi, mau dua, tiga atau lebih orang Batak berteriak mempertontonkan kebisaannya, yang dianggap memalkan orang lain. Atau ada yang mengatakan bahwa wajah orang Batak bersegi, entah empat, lima bahkan segi delapan sekalipun tidaklah menjadi masalah. Tidak serta merta membuatku merasa malu sebagai orang Batak. Karena aku percaya, kita adalah apa adanya kita. Bukan karena pendapat orang lain mengenai suku kita. Terserah orang mau berkata apa tentang diriku. Apalagi kalau hanya sekadar suku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *