Kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Mungkin memang sudah kodratnya demikian. Padahal, pada saat sesuatu belum terjadi, kita diberi kesempatan untuk mempertimbangkan akibat dari perbuatan yang akan kita lakukan. Meski kadang kesempatan itu tidak selalu kita pergunakan.
Sebelum melakukan sesuatu, idealnya kita berpikir dulu. AKibat dari ini, nanti akan seperti itu. Akibat dari itu, nanti akan seperti ini. Atau dihadapkan pada dua pilihan. Kalau begini, bisa begitu dan seperti ini. Kalau aku melakukan itu, berakibat begini dan seperti itu. Tinggal kita yang akan melakukannya, mempertimbangkan ini dan itunya. Bagusan ini atau itu. Lebih jelek begitu atau begini. Dengan demikian, diharapkan akibat yang akan terjadi dari perbuatan kita, akan menyenangkan. Atau, kalaupun tidak menyenangkan, masih bisa ditoleransi. Tidak jelek-jelek amat hasilnya.
Namun terkadang, kita menyalahkan hal lain apabila hasil yang dicapai, atau akibat dari perbuatan kita tadi jauh dari yang diharapkan. Bahkan dalam beberapa kasus, cenderung merusak. Emosi, adalah salah satunya. Dengan dalih membela diri, kita akan bilang, saat itu aku sedang emosi sehinnga tidak bisa berpikir jernih.
Kalau sudah begini seolah, persoalan selesai dan kita bisa terlepas dari tanggung jawab atas apa yang telah kita lakukan dan berakibat buruk tadi. Padahal, kembali ke ide di atas, emosi dan emosional juga merupakan pilihan. Yang mustinya berada dalam lingkar pengaruh kita sendiri.