Beberapa waktu lalu dalam sebuah milis yang aku ikuti ada cerita tentang Neslon Tansu yang konon katanya merupakan salah seorang Profesor termuda dalam sejarah pendidikan di Amerika. Kalau melihat namanya sepintas tidak keliatan kewarganegaraannya. Ternyata memang demikian adanya. Banyak yang menyangka anak muda berusia 26 tahun ini warga negara Taiwan. Ternyata Nelson merupakan seorang putra Indonesia kelahiran Medan !
Membaca cerita Nelson, terasa sekali aroma nasionalismenya. Meski banyak yang menyangka dia dari negara Taiwan atau Jepang, tapi dengan bangga dia mengaku sebagai orang Indonesia.
Seminggu terakhir ini, kita juga mendengar bahwa Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma diangkat menjadi Olimpian. Warga Olimpiade. Dengan kedudukan ini, Susi dan Alan berkesempatan mengarak obor Olimpiade pada bulan Juli mendatang di negara asal Olimpiade itu, Yunani !. Mereka berda mewakili 220 juta penduduk Indonesia bersama segelintir atlet legendaris dunia. Sungguh membanggakan !
Benang merah dari kedua cerita ini adalah bahwa mereka bertiga adalah manusia Indonesia yang mendunia. Hal lain yang lebih menarik adalah mereka warga Indonesia yang kebetulan ‘keturunan’. Kenapa aku harus pakai tanda petik di kata keturunan ? Karena ternyata Susi dan Alan [mungkin bersama puluhan atlet bulutangkis seperti mereka] tidak [atau belum ?] diakui sebagai warga negara Indonesia. Seringkali terdengar bahwa mereka diwajibkan memiliki SBKRI [Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia]. Padahal dalam setiap pertandingan resmi yang mereka ikuti, yang membawa nama negara, mereka datang atas nama Indonesia. Negaranya. Di kaos yang mereka pakai bertanding tertulis Indonesia. Kalau mewakili negara, kemenangan mereka dilanjutkan dengan pengibaran Sang Merah putih, bendera bangsa ini. Bukan bendera lain.
Sangat disayangkan sifat munafik dari pejabat yang berwenang soal ini. Kenapa munafik ? Karena pada saat kita [baca bangsa Indonesia] butuh mereka untuk mengharumkan nama negara, kita mengakui mereka sebagai warga negara kita. Namun pada saat mereka mengurus dokumen kependudukan, SKBRI yang selalu tak lupa ditanyakan. Padahal seperti pengakuan Susi kepada Kompas, mulai dari kakeknya, orangtuanya dan dia sendiri lahir di Indonesia. Tidak ada bedanya dengan aku. Lantas kenapa harus ada tindakan diskriminasi seperti ini ? Tidak bisakah mereka kita anggap sebagai bagian dari negara ini. Sama seperti aky yang kebetulan Batak atau Mas Singgih yang kebetulan dari Jawa misalnya ?
Pihak yang pro mendukung sepenuhnya RUU ini. Alasannya adalah dapat mengerem kemerosotan moral yang semakin jatuh di negara ini. Sementara pihak yang kontra menyayangkan energi yang keluar sia sia dalam menyusun RUU ini. Alasan mereka adalah, untuk apa mengatur sesuatu yang telah diatur dalam perangkat hukum yang telah ada [KUHP]. Meski belum lengkap, mereka yang kontra lebih setuju apabila KUHP yang direvisi daripada melahirkan UU baru.
Dengan segala hormat kepada pihak yang pro, aku berada di pihak yang kontra. Bukan kerena aku mendukung kegiatan pornografi. Tapi lebih kepada efektivitas UU itu nantinya apabila talah disahkan menjadi UU. Sebab bukan rahaasia lagi bila banyak UU di negara ini yang menjadi macan ompong. Yang bukunya lebih sebagai pajangan di rak buku tanpa ada upaya untuk menerapkan sanksi sebagaimana diamanatkan UU tersebut. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk menyusunnya tidaklah sedikit.
Contoh paling baru adalah soal korupsi. Negara ini telah memiliki UU anti korupsi sejak tahun 1971 dan diperbaharui lagi pada tahun 1999 dengan UU No. 31. Tapi pada kenyataannya, masih saja Republik Indonesia berada di peringkat atas negara paling korup di dunia. Kalau sudah begini, UU yang seusiaku itu kemana saja ya ?
** dua tulisan ini aku tulis di hari Minggu 18 April 2004