Sesuai jadwal yang sudah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU, minggu depan [11 April 2004] merupakan awal dari masa kampanye. Sebagaimana sudah diketahui bersama Pemilihan Umum [Pemilu] kali ini berbeda dari yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Karena kali ini selain memilih Presiden secara langsung juga ada pemilihan Dewan Perwakilan Daerah [DPD] yang di Pemilu sebelumnya belum pernah ada padahal keberadaan DPD sebenarnya sudah diakomodasi di Undang Undang Dasar 1945. Kalau melihat dari jadwal yang ada, butuh waktu yang panjang untuk menyelesaikan Pemilu 2004 ini. Karena ada sedikitnya dua tahapan untuk pemilih memberikan suaranya.
Yang pertama adalah pemungutan suara untuk memilih anggota badan legislatif yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] tingkat propinsi maupun kabupaten/ kota serta DPD. Pemilu untuk legislatif dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Sementara pada tanggal 5 Juni 2004 diadakan pemungutan suara untuk pemilihan Presiden [dan Wakil Presiden tentu saja]. Yang unik, apabila pada pemilu 5 Juni ini seorang calon Presiden memperoleh suara lebih dari limapuluh [50] persen dari jumlah suara pada Pemilu kali ini. Dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Apabila tidak memenuhi ketentuan itu, maka dua calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua akan ‘bertarung’ lagi di Pemilihan Presiden tahap kedua pada tanggal 20 September 2004.
Itu mekanisme yang aku dapat dari mengikuti selintas iklan di berbagai media. Namun ternyata tidaklah sesederhana itu. Karena kalau membaca Undang Undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden, ternyata tidaklah semudah itu. Sepertinya sosialisasi yang didapat masyarakat masih kurang. Hal itu bisa dimaklumi karena hampir seluruh proses Pemilu kali ini berbeda. Mengharapkan KPU semata untuk menjelaskannya menurutku juga kurang pas. Karena mereka sendiri saat ini sedang dikejar-kejar oleh deadline persiapan segala sarana dan prasarana pemilu yang ternyata masih jauh dari harapan. Mulai dari kotak suara yang berbeda dari pemilu sebelumnya yang terbuat dari kayu, kali ini dibuat dari aluminium. Kemudian pencetakan kertas suara yang lebarnya jauh dari ukuran kertas suara pemilu dahulu.
Aku nggak tau sejak kapan istilah Pesta Demokrasi digunakan untuk menyebut Pemilu di Indonesia. Namun yang pasti apa yang dirasakan masyarakat mungkin kurang tepat atau jauh dari suasana menyambut pesta. Karena yang ada hanyalah ketakutan. Terutama dunia usaha. Mungkin yang bisa menyambut Pemilu layaknya sebuah pesta hanyalah simpatisan partai atau pengusaha barang yang akan digunakan di kampanye atau pemilunya sendiri. Seperti misalnya pengusaha sablon, kaos, topi bahkan bendera.
Sementara masyarakat diluar dari yang sudah disebut di atas, dibayangi ketakutan akan terjadinya bentrokan massa pada saat kampanye nanti. Beberapa kali aku mendapat email yang berisi peringatan untuk berhati-hati melewati beberapa jalan utama Jakarta yang dijadwalkan untuk dilalui pawai/ kampanye peserta pemilu. Kalau sudah begini, masih layakkah bila disebut pesta demokrasi ?