Ada fenomena menarik dalam dua pilkada Gubernur minggu ini. Di Jawa Barat dan Sumatera Utara, calon yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera untuk sementara unggul dalam penghitungan suara cepat [quick count] yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey. Meski hasil perhitungan itu bersifat sementara, dari pengalaman yang telah ada, hasil akhir tidak jauh berbeda.
Hasil tersebut, langsung direspon oleh partai besar yang jagonya keok. Ada yang negatf, ada yang positif, juga ada yang lucu. Yang positif bilang, bisa menerima ‘kekalahan’. Yang lucu bilang, hal ini terjadi karena kampanye negatif. Sang petinggi partai ‘kalah’ bilang, sehebat apapun mesin politik sang calon, kalau dia selalu diserang dengan kampanye negatif, tidak akan menang.
Satu hal menarik juga, tingkat partisipasi pemilih tidak bagus-bagus amat. Dengan kata lain, jumlah pemilih golput, entah dalam arti tidak memilih sama sekali atau memilih tapi tidak dalam keadaan yang sah, semakin tinggi. Jumlah golongan putih ini, bahkan melebihi jumlah suara peraih suara terbanyak. Sebuah situasi yang mustinya menjadi pelajaran buat para petinggi partai.
Kedigdayaan PKS ini sebenarnya sudah terlihat sejak pilkada DKI, tahun lalu. Pak Adang yang diusung oleh PKS sendirian, hanya kalah suara sedikit dibanding Bang Kumis yang diusung puluhan partai. Meminjam istilah dunia persilatan, dikeroyok ramai-ramai saja, PKS mampu memberikan perlawanan berarti. Apalagi dengan koalisi.
Mungkin kasus Jawa Barat bisa dikecualikan, mengingat calon Wakil Gubernirnya adalah selebriti. Namun seperti yang pernah aku tulis, sikap simpati, gaya politik yang santun dari PKS, semakin hari semakin menuai hasil. Mungkin saja, benar seperti disinyalir oleh Effendi Ghazali di Kompas hari ini, bahwa inilah hasil dari Orde Capek Antri. Masyarakat sudah lelah dengan janji-janji yang entah kapan ditepati. Daripada memilih mereka yang janjinya tak ditepati, mendingan memilih mereka yang tak pernah berjanji tapi terlihat bekerja dengan sepenuh hati.
Bukan sekali dua, PKS langsung bekerja tanpa mengumbar janji. Setiap ada bencana yang menimpa rakyat, kader PKS hampir selalu tampil lebih dahulu untuk membantu. Terakhir yang diberitakan media, mereka turun langsung memperbaiki jalanan Jakarta yang berlubang, disaat Bang Kumis sedang menanti hujan berhenti di saat cuaca tidak menentu.
Sepertinya keadaan ini juga langsung dimanfaatkan oleh Partai Golkar yang langsung melontarkan wacana, menyandingkan Hidayat Nur Wahid dengan Ketua Umum mereka sebagai pasangan menghadapi Pemilu 2009.
Kalau aku bilang, inilah saatnya PKS menuai panen atas apa yang telah ditanamnya sejak bernama Partai Keadilan dulu. Sebentar lagi, pilkada Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali akan dilaksanakan. Apabila fenomena Jawa Barat dan Sumatera Utara masih berlanjut, bisa jadi 2009 pemilu akan mengejutkan banyak pihak sebagaimana di dua pilkada minggu ini.
kebenaran akan selalu benar.
saatnya islam memimpin.
tanpa banyak janji…
keadilan akan terbukti.
pilwalkot Bogor pun dimenangkan oleh kader PKS sebagai wakil walikota …
Allahu Akbar
Kalau diibaratkan permainan catur, PKS sekarang mulai masuk ke tahap middle game, setelah melakukan opening game yang baik.
Sebenarnya tolok ukur keberhasilan PKS sejauh ini adalah kemenangan Nur Mahmudi menjadi walikota Depok. Sedangkan kemenangan PKS dalam pilkada Sumut dan Jabar lebih sebagai kemujuran karena dua faktor :
1. Pecahnya suara pemilih kelompok kebangsaan
2. Sistem pemilihan yang cuma satu ronde dan tanpa batas suara minimum.
Kalau diadakan dua ronde, jabatan gubernur di Sumut dan Jabar akan dimenangkan oleh kandidat dari kelompok kebangsaan. Bagusnya kelompok kebangsaan sudah belajar dari pengalaman itu, sehingga pada pilkada Jateng diterapkan batas suara minimum dan dimungkinkan berlangsung dua ronde.
Dengan demikian tidak akan terulang lagi, kandidat yang hanya mendapat dukungan 10 % dari populasi terpilih sebagai gubernur seperti di Jabar dan Sumut. Lihatlah, pembangunan di Jabar dan sumut akan mandeg. Soalnya, seperti terjadi di Depok, kebijakan-kebijakan pemimpin asal PKS itu akan diganjal oleh DPRD yang didominasi oleh kelompok kebangsaan.
PS :
Menurut pendapatku, PKS tidak akan pernah menjadi partai besar. Dia memang cukup baik dalam mengorganisir dukungan, tapi suksesnya sejauh ini adalah karena tak satu pun partai lain melakukan hal yang sama. Sekarang PDIP dan PAN sudah mulai berbenah.
Basis dukungan PKS kecil sekali, yaitu jaringan pengajian dan kelompok muda perkotaan yang terpesona oleh aksi-aksi radikal ormas-ormas sayap PKS.
PKS sendiri menyadar bahwa hambatannya untuk menjadi partai besar adalah ideologinya yang bersifat theokrasi. Oleh karena itulah PKS berusaha mengelabui masyarakat dengan berpura-pura menjadi partai terbuka. Tapi masyarakat kita sudah mulai pandai, bisa membaca agenda jangka panjang PKS yaitu menghapuskan Pancasila dan menggantkannya dengan ideologi keagamaan.
Salam Merdeka!
nama dalam email ini mengingatkanku pada satu nama. benarkah beliau pemilik nama itu?
alhamdulillah Maluku Utara mengikuti,,,setelah sengketa yg tak kunjung usai…