Semakin jelas kenapa negara kita tidak maju-maju. Para pemimpin, bukannya memimpin malah sibuk dengan urusan tari-tarian. Pemimpin sebuah Partai Oposisi bilang kalo pemimpin (pemerintahan) sekarang sedang menari poco-poco. Maju selangkah, mundur selangkah. Gak ada kemajuan. Kalaupun ada goyangan, sekedar memuaskan pandangan para penonton. Yang dikritik, memang tidak langsung membalas. Tapi balik membalas, melalui juru bicaranya dan partai pendukungnya. Main sindir-sindiran seperti bocah.
Susah juga. Yang satu, sepertinya tidak bisa menerima kekalahan dalam Pemilu terakhir, dan merasa mampu memimpin seandainya dahulu diberi kesempatan. Mungkin dia lupa kalau, beliau pernah diberi kesempatan memimpin. Meski hanya sebentar (karena menggantikan Presiden sebelumnya, yang dimakjulkan), dalam kampanyenya menyambut pemilihan Presiden pertama secara langsung, beliau menyingkap semua keberhasilan selama memimpin. Namun apa daya rakyat lebih memilih orang lain. Mustinya hal ini bisa jadi pelajaran.
Pemimpin yang menang, terlalu tipis telinganya. Terlalu cepat merespon sekala kritik terhadapnya. Bahkan merasa perlu melaporkan sendiri kepada polisi, atas nama pribadi seorang [mantan] anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang menurutnya telah mencemarkan nama baiknya. Namun, sikap yang sepertinya elegan itu ternyata tidak dilanjutkan pada waktu laporannya ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Pelapor, dengan alasan kesibukan tugas negara tidak bisa datang ke Pengadilan sebagai saksi korban.
Ingat hal ini, aku ingat kalimat yang kira-kira berbunyi, “Kita tidak akan pernah menjadi seperti apa yang orang katakan”. Kita sendirilah yang menentukan siapa diri kita. bukan orang lain. Kenapa kita musti menghabiskan energi untuk memikirkan apa yang orang lain katakan?
Seorang teman dekat merasa perlu ‘membunuh’ blog yang dibangunnya cukup lama, karena beberapa teman lain sering membaca dan kemudian berkomentar miring terhadap beberapa postingannya. Seorang teman lain, bahkan bercerita dengan mata berkaca-kaca saat tau kalau dia dikatain sesuatu yang terus terang menyakitkan hati. Namun aku percaya dia tak seperti itu.
Diluar kedua teman tadi, ada seorang teman dekat lain yang berprinsip unik dan aku setuju dengan dia. Dia cerita, pernah bertemu dengan seorang teman baru di satu tempat. Namun sang teman baru itu seolah-olah tidak mengenal teman dekatku ini. Kepadaku dia berkata, “Emang gw pikirin kalo waktu itu dia sombong? Yang penting bukan dia yang memberi aku makan. Aku mencarinya sendiri”
Kira-kira seperti itulah prinsip yang sedari dulu aku jalani. Prinsip yang diajarkan oleh keluargaku. Peduli amat kata orang. Mari kita kerjakan hal yang sepatutnya kita kerjakan dengan sebaik-baiknya. Peduli amat kata orang. Toh bukan dia yang kasih kita makan. [kalimat terakhir ini biasanya Ibuku yang ngucapin] Sebab nasi yang kita makan, berasal dari “rice coocker !”
Jadi daripada rajin mengkritik, mungkin ada baiknya pemimpin partai oposisi itu melakukan konsolidasi terhadap partainya. Cari penyebab dari, bagaimana bisa partai yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan anggota parlemen, kalah dalam pemilihan Presiden langsung. Bukankah sudah jelas, lebih banyak yang menyukai saingannya? Satu hal lagi, perasaan dulu waktu jadi pemimpin, beliau selalu menjawab lebih baik banyak bekerja daripada banyak bicara, waktu orang-orang mengkritik sikap diamnya. Kenapa hal itu gak berlaku?
Kepada pemimpin yang menang, kerja aja bos! Gak usah dipikirin suara satu dua orang. Ada puluhan juta yang memilih anda dalam pemilihan kemarin. Bukankah itu lebih dari cukup? Masak sampeyan lebih peduli suara segelintir orang daripada mayoritas pemilih anda? Kalau kerja anda bagus, tahun depan insya allah dipilih lagi. Ya kalo selama ini kerjanya gak bener, ya rakyat juga akan menghukum dengan memilih yang lain. Dan itu tak perlu ditakutkan karena, bukankah jabatan adalah amanah dan titipan dari Sang Pemberi Hidup?
Kepada teman dekat, teman lain, dan teman dekat lain, apapun sikap kalian, aku tetep sayang kalian :-D.