Ada satu masa di Medan dahulu, aku aktif dalam kegiatan Paduan Suara di gereja. Paduan Suara merupakan bentuk pelayanan kami sebagai pemuda di gereja. Cukup lama juga aku berkegiatan di kepemudaan gereja tersebut. Sejak layak disebut sebagai pemuda gereja [tentu dengan syarat tertentu] tahun 1990, hingga pertengahan 1996.
Berbagai lagu telah kami pelajari. Bahkan bukan hanya lagu yang mengandung pujian kepada Tuhan [yang biasanya kami bawakan di kebaktian gereja], juga beberapa lagu daerah dan nasional yang sesekali kami bawakan utnuk acara diluar gereja, dalam rangka ‘ngamen’ mencari dana guna mendukung operasional organisasi kami. Selain itu, beberapa kali, kami juga mengikuti beragam festival paduan suara yang bersifat lokal.
Banyak hal yang aku pelajari sewaktu berpaduan suara. Terutama tentu bagaimana bernyanyi dalam sebuah kelompok. Juga bagaimana bertoleransi antar sesama anggota. Karena, sebagaimana layaknya organisasi lain, organisasi kami juga memiliki permasalahan yang tidak jauh beda.
Satu hal yang hari ini kembali aku ingat, adalah soal harmonisasi. Bukan hanya harmonisasi lagu, juga harmonisasi suara. Dalam partitur sebuah lagu, biasanya sudah disertai dengan semacam ‘tanda baca’ untuk melagukan lagu tersebut. Apakah dengan tempo cepat, lambat, keras, lembut. Juga bagaimana melagukan sebuah nada. Apakah satu ketuk, dua ketik, setengah bahkan seperenambelas ketuk. Belum lagi kalau harus ikut dalam sebuah festival. Karena biasanya kami akan bernyanyi di depan orang banyak, penampilan saat bernyanyi juga harus kami perhatikan. Dengan seragam misalnya. Atau soal tinggi rendahnya seorang anggota saat tampil di depan. Sebab sebagaimana namanya, apa yang kami pelajari adalah bagaimana memadukan berbagai macam hal, agar menjadi layak dengar dan layak tampil.
Paduan suara kami terdiri dari puluhan orang. Dalam beberapa kesempatan, ada juga teman yang harus meninggalkan paduan suara kami. Lebih sering karena dia pindah tempat tinggal, sehingga tidak bisa bersama lagi. Untuk itu, kadang kami harus mencari penggantinya. Biasanya, bila mengajak teman untuk bergabung, yang diajak akan menjawab, ”suaraku kan tidak bagus”
Mendapat jawaban seperti ini, biasanya kami akan mengingatkan mereka bahwa saat hujan turun kita sering mendengar Paduan Suara yang diberikan oleh kodok [saat itu di Medan, kami masih sering mendengarnya. entah sekarang di Metropolitan ini] Pada saat mendengar paduan suara kodok itu, kita mendengar harmonisasi yang dilakukan oleh para kodok. Namun coba dengarkan saat hanya satu kodok yang bersuara. Gak enakin banget.
Begitu juga dengan paduan suara. Saat puluhan orang anggota paduan suara itu bernyanyi dengan menggunakan ‘tanda baca’ yang sama, tempo, irama, dan lain-lain, suara yang terdengar akan indah. Namun saat ada satu atau dua orang saja yang mencoba menonjolkan suaranya, yang terjadi bukan paduan suara lagi. Namun sekelompok orang yang mengiringi satu atau dua orang tadi bernyanyi. Dan hal tersebut bukanlah semangat paduan suara.
Ah, kenapa aku merindukan saat-saat latihan di Rabu dan Sabtu malam dulu?