Mungkin ada diantara anda yang sempat menyaksikan iklan The Bali Memorial Concert oleh Twilite Orchestra minggu-minggu terakkhir ini. Aku sendiri mengikutinya dari milis musik Indonesia. Tapi sayangnya tidak sempat menyaksikan secara langsung. Baik di Bali maupun melalui tipi. Tapi dari apa yang aku baca dalam ulasan seorang penonton seperti di bawah ini, aku rasa apa yang ingin dicapai oleh Panita tercapai sudah. Cuman sayangnya [aku setuju dengan Yanuar Rizky] acara ini mustinya juga digelar untuk daerah lain di Indonesia yang memang tengah dirundung duka.
__________________________
Saya kehabisan kata!
[oleh : anb99@yahoo.com dari milis musik_indonesia]
Awalnya saya berpikir ‘luar biasa’ adalah kata yang tepat untuk melukiskan event ini.
Sejak melihat Addie di H-1 sibuk men-setting mixer di rembang petang yang memantulkan cahaya putih pantulan bukit kapur GWK, saya berpikir, “Apa yang sedang bergolak dipikiran Addie menghadapi konsernya besok?”
Betul begitu banyak pihak terlibat di ‘The Bali Memorial Concert’ ini. Sangat banyak. Tapi performa Addie MS dan Twilite Orchestra
adalah faktor utama yang akan menyebabkan misi ini disebut sukses, atau gagal.
Di penglihatan saya — ketika Addie dengan Rayban dan baseball cap-nya sibuk menunduk mengutak-atik mixer sambil sesekali memerintahkan 70-piece anggota orkestranya untuk menjajal instrumen mereka — yang terlihat di mata saya adalah kedua bahu Addie memikul beban yang jauh lebih besar dari bukit penopang seluruh komplek Garuda Wishnu Kencana.
Saya kehabisan kata!
Awalnya saya berpikir ‘superb’ adalah kata yang sesuai begitu melihat arus penonton memasuki lokasi konser yang dijaga superketat oleh polisi dan para pecalang, lengkap dengan detektor logam.
But I was wrong.
Penonton terus mengalir sampai repertoar ke 7-8 yang dibawakan TO, menyesaki lokasi yang diapit 12 subbukit yang sudah dibelah dengan presisi tinggi itu. Dua ribu, tiga ribu, empat ribu, tujuh ribu, delapan ribu! Itu kapasitas maksimal penonton duduk. Belum termasuk mereka yang berdiri di sisi kiri panggung, atau menonton lewat giant screen yang dipasang di Amphiteater bagi yang tidak memiliki invitation.
Sekitar 30 detik sebelum Tantowi-Ira membuka konser, rinai gerimis berjatuhan di atas kepala penonton, seperti tumpukan jarum yang melayang di sela-sela lighting berkekuatan 150 ribu watts.
Saya merasa tercekik sendiri. Tapi saya kira benak ribuan penonton juga dijejali pertanyaan yang sama ketika gerimis masih turun di awal-awal pertama “Indonesia Raya” dikumandangkan. “Bagaimana kalau HUJAN betul-betul menyiram sederas-derasnya?” Tapi gerimis “shock therapy” itu hilang dalam hitungan menit.
Saya kehabisan kata!
Karena titik-titik air kali ini meluncur dari sudut-sudut mata saya begitu angelic voice dari Sherina melantukan bait-bait awal, “Kulihat
ibu pertiwi…sedang bersusah hati…air matanya berlinang….” Maman Suherman, eks pemred tabloid Citra yang sekarang memimpin Seru!, menyeka kedua belah matanya. Isakan-isakan kecil terdengar di sekeliling kami.
Tidak lama setelah itu, satu dua lilin menyala di tangan penonton, sampai seluruh lilin menyala sekaligus ketika Christopher Abimanyu menyanyikan “One Voice”, dan bergerak seirama lagu.
Live concert selesai di SCTV, tapi tidak di lokasi. Penonton terus bertepuk tangan, berteriak “We want more, we want more!” persis di
konser-konser musik rock. How unbeliavable!
Addie menghadiahi dengan 3 encore, “Tanah Tumpah Darahku”, “Janger” dan, ajaib, di encore terakhir, saya kembali menemukan kata!
Kata-kata berluncuran dari tenggorokan saya, dari tenggorokan Maman, dari ribuan penonton yang hadir, bahkan saya kira juga dari Laksamana Sukardi dan Taufik Kiemas di baris terdepan.
Kata-kata kami menyatu dengan kata-kata Rio Febrian yang untuk kedua kalinya melantunkan “Imagine”: Imagine all the people, living life in peace… the whole song!
what a wonderful evening, what an unforgettable concert!
~a~