Demokrasi dan Dalihan Na Tolu

Pemberian ulos oleh warga Tapanuli yang selama ini bermukim di Jogjakarta, kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X di Jogja beberapa waktu lalu, mengusik perhatianku sebagai warga Dalihan Na Tolu DNT]. Betapa tidak, pemberian itu menyiratkan makna bahwa Sri Sultan berada pada posisi di bawah mereka yang memberinya ulos. Sebab selama ini yang aku pahami, dalam tatanan DNT, pemberian ulos hanya berasal dari mereka yang kedudukannya ‘lebih tinggi’ kepada mereka yang kedudukannya ‘lebih rendah’. Tidak pernah sebaliknya. Dalihan Na Tolu sendiri selama ini dikenal dan diakui sebagai landasan kekerabatan warga Batak. Terdiri dari [dari level tertinggi] Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru.

Dalam hal pemberian ulos tersebut, Raja Jawa itu bukan dalam kapasitas sebagai boru dari warga Tapanuli pemberi ulos. Jadi memang tidak layak. Dan aku setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa mereka yang berniat baik memberi ulos kepada Sultan itu, tidak memahami adat Batak.

Berbeda kalau pemberian itu diberikan kepada seorang Gubernur misalnya. Karena dalam posisi sebagai Gubernur [atau posisi lain di pemerintahan], adalah hal yang wajar apabila diulosi oleh rakyatnya. Dan menurutku hal tersebut tidak bertentangan dengan tatanan Dalihan Na Tolu tadi. Karena, rakyat dalam tatanan demokrasi [yang baik dan benar tentunya, bukan demokrasi ecek-ecek seperti jaman dulu] merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Karena rakyatlah yang -melalui pemilihan umum- menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Rakyatlah yang memilih kepada siapa dia percaya sebuah negara akan dibawa. Yang pada saatnya, apabila rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara demokrasi, merasa kepercayaan yang diberikan kepada orang pilihannya tidak dilaksanakan dengan baik dapat mencabut mandat yang diberikan.

Itulah sebabnya, menurutku tidak ada masalah apabila sekelompok masyarakat Batak memberikan ulos [mangulosi] Presiden Republik Indonesia. Karena mereka merupakan bagian dari rakyat Indonesia, yang ‘memberikan’ kekuasaan kepada sang Presiden. Namun dalam hal pemberian ulos kepada seorang Raja, dimana ‘kekuasaannya’ bersumber dari keluarganya secara turun-temurun, dan bukan karena dipilih melalui sebuah pemilihan umum sebagai bagian dari demokrasi, hal tersebut bukanlah hal yang lazim.

Tapi mudah-mudahan saja mereka [pemberi ulos itu] melihat dari sisi lain. Mereka memberi ulos kepada Gubernur Jogjakarta [yang notabene dijabat oleh Sri Sultan]. Kalau ini yang menjadi dasar pemikirannya [meskipun sangat sulit membedakan posisi Sri Sultan saat ini] aku setuju.

Dipos di Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *