Berdoa Untuk Pak Harto

Pak Harto kritis. Sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak tanggal 8 Januari lalu, Presiden kedua Republik Indonesia itu sudah harus nginap di Rumah Sakit Pertamina. Saat itu, dokter mengeluarkan cairan dari tubuhnya.

Tapi semalam sepertinya semakin parah. Detik com memberitakan, beliau bahkan sempat tak bernafas. Sehingga perlu diberikan berbagai macam alat bantu kedokteran. Sempat teringat akan keadaan almarhum bapak yang tahun 2000 mengalami stroke. Dibawa ke rumah sakit, saat itu dokter langsung memasukkan bapak ke ruang ICU. Dibantu berbagai macam selang dan kabel yang ditempel ke tubuhnya, bapak ‘menunggu’ku hingga keesokan harinya, untuk kemudian dinyatakan meninggal di hari ketiga. Sebenarnya malam saat bapak stroke, dokter yang merawat sudah menyampaikan kabar buruk itu kepada mama dan keluarga. Aku dan keluarga merasa, berbagai macam alat bantu kesehatan itu hanyalah upaya untuk memperlama keadaan yang dialami. Bukan untuk mengobati, karena memang beliau sudah ‘tidak ada’ lagi.

Aku berpikir, inilah yang sedang dialami Pak Harto. Media juga memberitakan bahwa keluarga sudah mengikhlaskan ‘kepergian’nya. Berbagai persiapan sudah dilakukan di kediaman Cendana, maupun Kalitan, tempat keluarga almarhumah ibu Tien, yang lebih dulu meninggal beberapa tahun yang lalu. Karena, sebagaimana pernah disampaikan dalam biografinya, Astana Giri Bangun sudah dipersiapkan sebagai pemakaman keluarga. Dan pak Harto sudah mengisyaratkan, apabila kelak meninggal dunia, pak Harto akan dimakamkan di sana.

Berita mengenai kritisnya pak Harto, menurut Kompas menyedot sebagian besar perhatian publik. Hal ini tentu tidak lepas dari peran beliau selama tahun 1965 [peristiwa G30S] hingga mundur tahun 1998. Banyak yang membencinya, namun banyak yang secara terang-terangan maupun terselubung masih memujanya. Yang membencinya, sebagian bahkan masih sempat melakukan unjuk rasa di RSPP kemarin.

Pemerintah dan tokoh politik, berlomba-lomba memberikan pernyataan, yang pasti bermuatan politik juga. Soal status hukum pak Harto yang sejak mundur, seolah jalan di tempat. Sebagian besar menyatakan sudah selayaknya dihentikan. Aku berpikir, para pemberi pernyataan itu tidak memiliki hati nurani. Saat seseorang sedang sekarat, masih saja ngomongin soal hukum. Kemana saja mereka sejak 1998?

Kasihan melihat pak Harto. Betapa tidak, hingga menjelang ajal, masih diperlakukan sebagai komoditas politik. Kalau para pemimpin negara serius ingin menuntaskan persoalan hukum pak Harto, tentu saja sejak lama kasus ini diputuskan.

Kenyataanya tidak begitu. Entah apa yang ada dibenak mereka. Sebab, seandainya saja mereka masih mengingat jasa pak Harto. Tentu bukan hal yang sulit untuk melakukan rekayasa pengadilan sebagaimana kasus-kasus besar yang selama ini disorot publik, tapi menghasilkan keputusan yang melukai rasa keadilan publik. Namun ternyata mereka tidak berani.

Dengan menggantung begini, pak Harto ‘pergi’ dengan tatus hukum masih mengganjal. Tapi aku juga berpikir, apakah ini karma yang harus diterima oleh pak Harto? Sebab, beliau melakukan hal yang sama dengan pak Karno, yang digantikannya. Pak Karno meninggal dengan situasi yang hampir sama. Ada yang menghujat, tak sedikit yang memujanya. Namun, tuntutan agar pak Karno diadili karena tuduhan keterlibatan beliau dalam G30S, tidak pernah dilaksanakan.

Yang pasti, sudah selayaknya sebagai anak bangsa kita mendoakan pak Harto. Tiga puluh dua tahun memerintah, diantara kesalahan-kesalahannya [sebagaimana layaknya manusia biasa] ada hal-hal baik yang pernah dilakukan buat bangsa ini.

Dipos di Tak Berkategori
2 Komentar Tambahkan milikmu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *