Belajar Sebenarnya Buat Apa

Education is not the filling of a pail,
but the lighting of a fire

— W. B. Yeats [homeschooling]

Seorang, teman beberapa hari terakhir sedang dipusingkan urusan sekolah. Bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk anaknya. Memang, sekarang-sekarang inilah semua persiapan untuk tahun ajaran baru dilaksanakan. Lembaga pendidikan [sekolah] siap-siap dengan proses penerimaan siswa baru. Calon siswa [plus orangtuanya, seperti contoh kasus teman tadi] mulai berburu nyari sekolah ‘favorit’ [?].

Mendengar hasil perburuan teman tadi, plus dari perbincangan dengan beberapa teman, keder juga hati ini. Karena ternyata ada sekolah tingkat menengah atas yang menetapkan nilai 30 juta rupiah hanya untuk uang masuk saja. Belum uang sekolahnya. Seorang teman bilang ada juga sekolah dasar yang menetapkan nilai 7 juta rupiah untuk uang masuk. Mungkin, tidak semua sekolah mengenakan tarif segitu besar. Tapi, sepertinya sudah menjadi hal yang biasa. Apa yang terbayang adalah, kalau sekarang tarifnya sudah segitu, saat Yeremia siap sekolah nanti, sanggupkah kami ? Mungkin itu yang membuat hingga ada yang menulis buku dengan judul, ‘Orang Miskin Dilarang Sekolah‘.

Sudah gitu, andai orangtua memiliki dana yang cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya, bukan berarti persoalan selesai. Kerap siswa dijejeli dengan berbagai macam kurikulum akibat kebijakan pemerintah [melalui kementrian pendidikan] yang gonta-ganti. Sampai ada pameo yang mengatakan ganti menteri, ganti kebijakan. Yang paling sering dikeluhkan adalah soal buku pelajaran yang setiap tahun berganti. Padahal kadang, hanya sampulnya saja yang berganti. Teringat waktu sekolah dasar dulu, di setiap buku pelajaran [buku cetak] selalu tertulis, “Sesuai Kurikulum 1975” atau “Sesuai dengan GBPP 1984“. Konon, sekarang kurikulumnya disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi. Belum lagi soal tumpang tindih yang terjadi antar mata pelajaran. Aku masih ingat, dulu ada mata pelajaran yang namanya sejarah. Namun, saat Menteri Pendidikan dijabat Bapak Nugroho Notosusanto [yang nota bene juga seorang sejarawan] dimunculkanlah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa [PSPB]. Padahal pelajaran sejarah tadi tetap diajarkan di sekolah-sekolah.

Menjadi siswa, juga mengharuskan anak-anak untuk ikut berbagai macam kegiatan ekstra kurikuler, yang [katanya] mendukung pelajaran di sekolah. Atau ikut beragam les atau bimbel [bimbingan belajar] agar tidak ketinggalan dengan pelajaran sekolah. Beragam bentuknya beragam pula alasannya. Padahal, bisa jadi karena ketidakseragaman guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Atau karena keinginan orangtuanya. Konon ada anak yang stress karena seabrek kegiatan itu. Seorang teman yang memiliki anak usia sekolah dasar juga mengeluhkan jadwal anaknya. Ksrena katanya kegiatan sekolah anak itu dimulai pukul 07.00 pagi hingga pukul 15.00 sore.

Tujuannya akhir dari semuanya, sebagaimana yang sering aku dengar dari orangtua, biar pintar – biar gampang cari kerja atau nyari duit !. Benarkah ?. Ternyata enggak sepenuhnya benar juga. Iklan lowongan kerja juga udah mulai membatasi kesempatan kerja. Seringkali persyaratannya ditentukan berdasarkan Indeks Prestasi atawa IP. Soal ini, aku setuju dengan apa yang pernah diulas tabloid Kontan di salah satu tajuknya. Kalau IP seseorang tinggi, belum tentu dia cocok menjadi karyawan. Kemungkinan besar orang tersebut lebih cocok jadi pengajar.

Trus, gimana ? Berkaca pada kenyataan itu semua, serta membaca cerita cara Kak Seto mendidik anaknya di majalah Tempo terbaru, sempat terpikirku untuk menerapkan home schooling untuk Yeremia. Dasar pemikiran awalnya sudah kelihatan saat mengikutkan dia di Tumble Tots, beberapa waktu lalu. Saat anak-anak lain diajak mengikuti kemauan pengasuhnya [uncle dan auntie], dianya malah asyik sendiri menjelajah ruang bermain, berkeliling di semua wahana permainan seolah tak perduli. Biasanya kami akan membiarkannya. Mungkin satu kesempatan dia akan ikut dengan kegiatan anak lain. Tapi kalau setelah dia rasa membosankan, dia akan mulai menciptakan kegiatan sendiri.

Bukankah Gibran pernah berkata, “anakmu bukanlah anakmu, meski dia lahir daripadamu tapi dia bukan milikmu”. Anak, menurut Gibran bak anak panah. Orangtua hanyalah busurnya. Mungkin yang perlu aku siapkan adalah, bagaiman menjadi busur yang baik. Yang kembali ke permasalahn awal, kayanya aku musti belajar banyak :-(.

Dipos di Tak Berkategori
2 Komentar Tambahkan milikmu
  1. Hallo goklas,
    Sorry kalo saya masuk ke blog yang ini.
    Saya tertarik blog kamu yang mengenai batak, tetapi entah kenapa saya gak bisa menulis melalui link yang disitu.
    Bisa minta alamat emailnya?
    salam
    tiur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *