API

Kecil menjadi kawan, besar menjadi lawan. Apakah itu? Api! Aku ingat, begitulah dulu guru bahasa Indonesiaku saat di Sekolah Dasar menyebut pepatah untuk api.

Memang begitulah sejatinya api. Pada saat baru dinyalakan, entah dari korek api atau mancis [bener gak istilah ini?], dia bisa digunakan untuk apa saja membantu manusia. Di jaman purba dahulu, awalnya api digunakan sebagai alat penerang. Saat ini, selain sebagai alat penerang [meski mungkin sudah jarang yang menggunakan obor, lampu tempel, atau lilin sebagai alat penerangan], api juga digunakan untuk memasak. Untuk manfaat tersebut, api yang dinyalakan tidaklah terlalu besar. Bahkan, untuk seorang perokok, api hanya dinyalakan hanya sekali saja berbentuk lidah api. Selanjutnya api yang dimanfaatkan, berbentuk lain.

Setelah digunakan, api harusnya dipadamkan. Sebab apabila terus menyala, api bisa membahayakan sebagaimana pepatah diatas. Bisa menyerempet kemana-mana dan membakar apa saja. Kalau sudah begini, terkadang upaya yang dibutuhkan untuk memadamkannya tidak gampang. Dalam kasus kebakaran rumah, malah memungkinkan untuk merembet ke mana-mana. Menghilangkan harta benda bahkan jiwa.

Terpikirkankulah suatu keadaan di sebuah kos-kosan. Seorang anak kos menyalakan api untuk membantu dia. Taruhlah untuk menanak beras. Saat beras telah matang, orang tersebut meninggalkan api tersebut menyala. Karena tujuannya untuk mendapatkan nasi telah tercapai. Teman sesama anak kos yang mendapati api masih menyala, membiarkan api karena berpikir nanti dia akan membutuhkannya memasak air, untuk membuat kopi misalnya. Lalu dia kembali ke kamarnya, dan membiarkan saja api tersebut menyala.

Saat api yang ditinggalkan tadi telah membesar dan menyambar apa saja yang gampang terbakar di dapur, dia telah terlambat untuk memadamkannya. Karena api sudah terlalu besar dan terlanjur merugikan. Bukan saja untuk dia sendiri, juga merugikan penghini kos lain. Bahkan pemilik rumah kos tersebut. Upaya untuk memadamkan kompor sebagai sumber api akan susah sekali. Si anak kos yang lalai akan panik, mengingat keteledorannya telah merugikan. Semakin panik lagi saat upaya pemadaman kompor masih direcoki dengan tuntutan pemilik rumah yang tidak mau rumahnya habis terbakar karena sumber api tidak bisa dipadamkan.

Dipos di Tak Berkategori
4 Komentar Tambahkan milikmu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *