terpikir perlunya ahli bahasa memaknai sebuah peraturan

Guru Besar Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, dalam sebuah episode Indonesia Lawyer Club pernah berkata bahwa dalam mengajukan gugatan pada Mahkamah Konstitusi, beliau tidak perlu membawa banyak ahli hukum. Menurutnya, apa yang perlu dibawa cukuplah seorang ahli Bahasa Indonesia/Melayu. Menurutku, hal tersebut dilakukan, karena seringkali di persidangan yang terjadi bukan lagi debat mengenai semata soal hukum. Namun lebih kepada bagaimana memaknai kalimat dalam Undang Undang yang sedang diuji.

Kalau dipikir ada benarnya. Seringkali sebuah peraturan dimaknai berbeda oleh lebih dari seorang ahli hukum. Mungkin itu sebabnya ada kalimat yang menyatakan kurang lebih, “dalam diskusi dua orang ahli hukum, maka terdapat kemungkinan muncul tiga pendapat” (dengan segala hormat kepada para ahli hukum). Perdebatan, seringkali terjadi ketika para ahli hukum memaknai berbeda atas kalimat yang terdapat pada sebuah peraturan.

Bekerja pada sebuah institusi yang diserahi fungsi sebagai regulator, membuatku terbiasa menghadapi kalimat-kalimat hukum. Hal tersebut mau tidak mau harus dilakoni karena kami memiliki tugas untuk membuat peraturan dan memastikan peraturan tersebut dapat dijalankan serta dipatuhi oleh pihak yang diatur. Bukan saja harus mengenai peraturan yang kami buat sendiri. Juga peraturan lain yang terkait dengan pihak yang kami atur. Sering perbedaan pendapat terjadi ketika memaknai Ketentuan pada level undang undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Salah satu undang undang yang terkait adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 72 ayat (1) UUPT mengatur bahwa, Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan. Pasal ini terhitung cukup sering dimaknai berbeda. Kami memaknai begini, pihak yang diatur memaknai begitu. Bertolak belakang tergantung pada sudut pandang.

Menurutku, kalimat pada pasal tersebut haruslah dibaca sebagai dua klausa. Klausa pertama “Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir” sementara klausa kedua “sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan”. Sehingga dengan demikian, memaknainya haruslah bahwa “pembagian dividen interim dilakukan pada tahun yang sama dengan tahun buku yang mendasari pembagian dividen interim”. Ribet? Itulah bahasa hukum.

Sebagai contoh, dividen interim tahun buku 2013 misalnya, haruslah dibagikan pada tahun 2013. Rentang waktu pembagiannya dimulai sejak tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013. Sebab apabila dibagikan pada Januari 2014 apalagi setelahnya, sudah tidak sesuai dengan klausula “sebelum tahun buku berakhir”. Karena tahun buku berakhir pada tanggal 31 Desember 2013 (dengan asumsi, tahun buku dimulai sejak 1 Januari 2013 dan berakhir 31 Desember 2013).

Masalah apakah dividen interim dapat dibagikan pada rentang waktu tersebut, harus mengacu pada klausa terakhir, “Sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan”. Sebab jika hal tersebut tidak diatur pada anggaran dasar, maka pembagian dividen interim tahun buku 2013 (meskipun dibagikan dalam rentang waktu 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013) tidak dapat dilakukan.

Untuk skala yang lebih kecil adalah apa yang terjadi pada akhir pekan kemarin. Awal tahun, Perusahaan telah menetapkan penggunaan dua jenis seragam yang kami punya dengan ketentuan, “seragam merah digunakan pada Jumat minggu kedua. Sementara seragam biru digunakan pada Jumat minggu keempat”. Hari Kamis sore terdapat diskusi (yang pasti dimulai dengan kebingungan) mengenai hal tersebut. Apakah pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2013, adalah jadwal pemakaian seragam merah?

Menurutku, kebingungan dimulai dari kalimat “Jumat minggu kedua”. Mencoba memaknai bahasanya, berbekal pengalaman sebagaimana aku tulis di atas, aku mencoba melirik pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

Ming·gu 1 hari pertama dalam jangka waktu satu minggu; 2 (ditulis dengan huruf kecil) jangka waktu yang lamanya tujuh hari

Yang menyatakan bahwa tanggal 7 Februari adalah jadwal pemakaian seragam, melihat bahwa rentang waktu tanggal 2 Februari sampai tanggal 8 Februari 2014, merupakan minggu kedua Februari. Karena meskipun tanggal 1 Februari 2014 jatuh di hari Sabtu, menurutnya cukup untuk menyatakan bahwa itu merupakan satu minggu. Padahal jika mengacu pada apa yang dinyatakan oleh KBBI di atas, pemakaian seragam pada bulan Februari 2014, haruslah dilakukan pada tanggal 14 Februari. Bukan pada tanggal 7 Februari. Karena waktu seminggu sebagaimana disebutkan dalam peraturan, baru tercapai pada rentang waktu sejak tanggal 2 Februari sampai tanggal 8 Februari 2014. Demikian seterusnya sampai akhir bulan.

Namun, ternyata Jika konsisten dengan ketentuan tujuh hari dalam seminggu, tidak terlalu lama akan terjadi kebingungan baru. Bahkan ketika bulan Februari belum selesai. Karena ternyata tidak ada minggu keempat pada bulan Februari 2014. Karena ketentuan satu minggu terdiri dari tujuh hari tidak terpenuhi pada rentang tanggal 23 sampai 28 Februari. Meskipun pada rentang waktu tersebut terdapat satu hari Jumat di tanggal 28 Februari. Lantas kalau begini, harusnya seragam warna biru tidak akan pernah digunakan pada Bulan Februari :-)

Aku pikir, seandainya kata “Jumat minggu kedua” diganti menjadi “Jumat kedua”, “Jumat ketiga” dan seterusnya, mungkin kebingungan itu tidak akan terjadi. Atau malah berpotensi masalah lagi di bulan selanjutnya? #ah…sudahlaaaah…

Dipos di Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *